Kamis, 13 Mei 2010

Kaki Palsu ( bagian 2)

Saya Ingin bisa Berjalan
MIZATI, asal Madura, adalah salah seorang pasien Ketut Sudarmada. Dia mengetahui keberadaan Ketut dari familinya yang bekerja di Tabanan. Sejak lahir, perempuan usia 21 tahun ini sudah cacat. Malu terhadap kondisinya, ia jarang keluar. Sehari-hari, ia hanya tinggal di rumah. Ia membantu ibunya memasak atau mencuci pakaian. Orangtuanya bekerja sebagai petani di Madura. Sebelum bertemu Ketut, ia mengaku pesimis terhadap masa depannya. Namun, kini ia seperti melihat suatu impian baru. Ia tidak memunyai cukup biaya untuk membeli kaki palsu. Namun, Ketut memberinya harapan baru. Kaki palsunya kini sedang dikerjakan. Diharapkan, sebentar lagi, mimpinya akan menjadi kenyataan. “Saya ingin bisa berjalan,” kata Mizati dengan mata berkaca-kaca.

Bangun Pagi dan Berjemur
YOGA, bocah berusia 10 tahun asal Klungkung, terlahir cacat. Ayahnya bekerja di pertambangan batu bara di Kalimantan. Ibunya, seorang ibu rumah tangga. Yoga ingin sekali seperti anak lainnya, bisa bermain dan bersekolah. Namun, ia hanya bisa mengubur impiannya itu. Untuk berdiri saja ia tidak mampu. Kondisinya lemah. Ia hanya duduk di kursi roda. Pergi ke toilet, Yoga harus dibopong.
Namun, Yoga kini punya semangat baru. Sambil menanti kaki palsunya yang sedang dibuat, Yoga diajari untuk belajar berdiri. Siti Fatima, ibu tiri Ketut Sudarmada, selalu memberinya motivasi. Kedisiplinan dan sikap tegas yang ditunjukkan Siti, menjadikan bocah ini bangkit dari keterpurukannya.

Selain Yoga, ada seorang lagi pasien yang hanya duduk di kursi roda yakni Ketut Darma Putra (13 tahun). Ayah Darma Putra sudah meninggal, saat ini bertempat tinggal di Jalan Serma Kawi Denpasar. Darma Putra terlahir cacat. Tiap hari Siti Fatima membiasakan Yoga dan Darma Putra bangun pagi dan mengajaknya berjemur. Tubuhnya digerak-gerakkan agar tidak kaku. Mereka juga dilatih untuk berdiri. Siti mengajari mereka untuk belajar makan sendiri. Siti Fatima mengatakan, untuk melatih pasien memerlukan kesabaran yang luar biasa dan ketulusan. Ia menganggap semua pasien seperti anaknya sendiri. Tugasnya sehari-hari mengurus pasien yang menginap di rumah Ketut Sudarmada. Siti selalu memberi motivasi agar pasien belajar hidup bersih. Perempuan usia 58 tahun ini kini tampak sumringah. “Kini Yoga sudah mampu berdiri,” ujarnya dengan gembira.

Tidak Makan karena tak Punya Beras
KEHIDUPAN manusia selalu berubah, kadang di atas, kadang di bawah. Saya mempercayai itu. Demikian penuturan Ni Ketut Ratika, istri I Ketut Sudarmada. Masa-masa sulit yang pernah dijalaninya, membuat perempuan usia 48 tahun ini tetap tegar. “Karena stres, suami saya pernah tidak pulang berbulan-bulan. Saya dan anak-anak pernah tidak makan karena tak punya beras lagi,” tuturnya dengan suara parau. Tidak memunyai tempat bersandar, akhirnya Ratika memutuskan ikut orang. Ratika rela menjadi pembantu di rumah orang tersebut agar kedua anaknya tetap bisa makan. “Saya terus berdoa, agar suami saya sadar dan ingat pada anak-anak,” tuturnya sembari menyeka air matanya. Beberapa bulan kemudian, Ketut Sudarmada pulang kembali.
Putu, putra sulungnya mengakui, waktu bocah beban hidupnya sangat berat. Ia juga menyadari kondisi orangtuanya. Kadang ia mengaku sedih, melihat teman-temannya mampu mengenyam pendidikan tinggi, sedangkan ia hanya tamat SMP. Walau sedih, ia tidak menyesalinya. Kini, ia merasa sangat bangga, mampu membantu orang-orang yang tidak bisa berjalan. Saat senggang, ia memanfaatkan hobinya bermain gitar.

Jangan Biarkan Mereka Jadi Beban
KEPALA Seksi Industri Disperindag Kabupaten Tabanan I Gede Sutresna Lila Wirya mengatakan, pihaknya sedang mendata kebutuhan alat-alat untuk membuat kaki palsu yang diperlukan Ketut Sudarmada. “Usaha ini sudah berjalan 10 tahun, namun belum mendapatkan respons dari Pemkab. Tabanan. Kami mencoba mengajukan data ini ke Pusat agar Ketut mendapatkan bantuan peralatan atau dukungan lainnya,” ujarnya kepada wartawati Koran Tokoh.
Ketut Sudarmada menuturkan, ia sudah pernah mengajukan permohonan ke Pusat, namun, biasanya Pusat menanti rekomendasi dari bawah. Pemkab. Tabanan belum meresponsnya. Ia berharap, birokrasi dibenahi agar bisa lebih responsif. “Orang cacat juga bagian masyarakat. Kami berharap, semua elemen masyarakat lebih peduli pada orang cacat. Orang cacat perlu diberdayakan. Jangan sampai mereka menjadi beban keluarga dan negara. Banyak anak cacat yang memiliki potensi tetapi belum tersentuh dan terberdayakan. Mereka sudah cacat, miskin pula,” tandasnya. –ast

Koran Tokoh, Edisi 591, 9 - 15 Mei 2010

Tidak ada komentar: