Minggu, 13 Juni 2010

Masalah Parkir, Masalah Ubud

PARIWISATA Ubud yang berbasis kerakyatan telah mampu menyejahterakan masyarakatnya. Demikian Bupati Gianyar Tjok. Oka Artha Ardana Sukawati dalam diskusi komprehensif Koran Tokoh bekerja sama dengan Pemerintah Kecamatan Ubud, Kamis (10/6), di Museum Arma Pengosekan, Ubud, Gianyar. Namun, katanya, dewasa ini Ubud menghadapi masalah yang perlu mendesak ditangani, antara lain masalah parkir.
Bupati yang akrab disapa Cok Ace ini mengatakan, masyarakat Ubud bekerja keras membangun industrinya sendiri, sehingga tuntutan masyarakat Ubud ke pemerintah lebih berani dibandingkan daerah lainnya. "Sedikit saja kerusakan infrastruktur, masyarakat sudah berteriak. Selain sebagai rakyat mereka juga sebagai pengusaha," ujar Cok Ace. Rakyat Gianyar lebih sejahtera daripada pemerintahnya. "Perputaran uang di Gianyar, awalnya masuk ke kantong rakyat, kemudian baru masuk ke pemerintah. Artinya, rakyat yang menyetor uang ke pemerintah," tambahnya.

Sebelum tragedi bom Bali tahun 2002, kunjungan tamu asing mencapai angka 4 juta orang. Saat kondisi pulih pascabom, kunjungan tamu di atas 6 juta jiwa. Peningkatan wisatawan justru dua kali lipat setelah tragedi bom. Namun, masa tinggal mereka hanya sepertiga. Masa tinggal wisatawan hanya 3-4 hari. Mobilitas mereka di jalan raya sangat tinggi. "Tidak dapat dimungkiri pariwisata sudah mampu menyejahterakan masyarakat Ubud. Ubud mendapat banyak julukan, Ubud is capital culture. Julukan itu bersumber dari budaya Ubud. Ujung tombak Ubud bagaimana penataan Ubud termasuk alamnya. Ibaratkan masuk ke toko, Ubud bagai etalase yang sangat menarik. Bali merupakan tokonya," jelasnya.

Masyarakat Ubud berada dalam dua peran, sebagai rakyat dan juga pengusaha. Ketika berbicara masalah pengusaha, sangat erat hubungannya dengan kewajiban. Ada aturan yang harus diterapkan. Namun, aturan tersebut tidak semua bisa diterapkan karena mereka juga secara otomatis menjadi rakyat Ubud. Ada aturan tidak boleh parkir di depan restoran, mereka berkilah, saya bukan pengusaha, rumah saya di sini.
Kesulitan menata Ubud juga karena modal. Ubud tidak optimal menghasilkan uang. Namun, di satu sisi pemerintah berhasil membuat masyarakat terlibat dalam pariwisata Ubud. "Kita ajak masyarakat membuat garasi, mereka malah berkata rumah saya sudah penuh. Akhirnya mereka semua parkir di pinggir jalan. Ubud tidak bisa rapi kalau mereka sendiri tidak mau merapikannya," ungkapnya.

Pemerintah sudah mengundang banyak pakar untuk memberi masukan dalam penataan ubud. Semua itu karena ingin Ubud tetap eksis. Forum penataan pengembangan kawasan Ubud, 6 bulan lalu sudah disepakati. Namun, usaha tersebut belum bisa berjalan. Rakyat sudah menjadi pengusaha. Merekalah yang menentukan sendiri. "Ada pujian dari pihak luar, Gianyar hebat karena bisa menolak masuknya franchise McDonald dan KFC. Padahal itu hanya di Ubud," ujarnya. Ia bangga karena film Eat, Pray, Love yang di-shooting di Bali, akan beredar Agustus 2010 ini. Dampaknya memang tidak langsung untuk Ubud. Perlu waktu sekitar setahun untuk merasakan adanya dampak film ini. Namun, kata Cok Ace, semua perbaikan memang harus dilakukan sekarang untuk masa depan Ubud. —ast
Koran tokoh, edisi 596, 13 s.d 19 Juni 2010

Tidak ada komentar: