Tu Niang, begitu ia biasa disapa. Perempuan usia 56 tahun ini penjual makanan tradisional Bali seperti tipat cantok, rujak, tahu petis, nasi betutu, dan es daluman di salah satu areal supermarket di Kuta. Ada yang unik dari penampilan Ida Ayu Puspa, nama lengkap perempuan asal Desa Sandakan Petang, Badung ini. Selain menggunakan pakaian adat Bali setiap hari, ia juga menyasak rambutnya sangat tinggi. Dalam rangka perayaan HUT ke-65 Republik Indonesia, Tu Niang tak tanggung-tanggung, mencoreng pipinya dengan make up dan membentuk dua garis warna merah dan putih. Dandanannya ini tentu saja menarik perhatian wisatawan asing atau orang yang datang mengunjungi pameran di depan pantai Legian, tempat Tu Niang berjualan sore itu.
Nama Tu Niang, sangat terkenal di Sanur dan Kuta. Selain dandanannya yang unik, ia sering menggunakan sepeda motor untuk mengangkat barang dagangannya dari rumahnya di Sanur menuju tempat pameran. “Dimana saja ada pameran, saya pasti ada. Di Art Centre, Gajah Mada Festival, Sanur Festival, ataupun Kuta Kanival,” ujarnya. Untuk menyasak tinggi rambutnya, Tu Niang hanya membutuhkan waktu 5 menit. Ia mengaku tidak terbeban dengan dandanannya itu. Malah, ia mengaku itu ciri khasnya.
Ada kisah unik yang dituturkan perempuan yang hanya tamat kelas III SD ini. Suatu ketika, ia sedang membawa barang dagangannya dengan sepeda motor melewati jalan Simpang Siur Dewa Ruci Kuta. Tanpa disadari, barang dagangannya jatuh. Ia tidak menyadarinya. Tu Niang melihat ke belakang, banyak orang berteriak. Tu Niang ikut berhenti dan sibuk melihat apa yang dikerumuni di tempat itu. Ia tak menyangka semua barang dagangannya jatuh. Malah ia sibuk berkumat-kamit kebingungan mencari tahu siapa yang punya barang tersebut. Ketika hendak menuju sepeda motornya, ia kaget, keranjangnya tidak ada. “Ternyata itu keranjang saya yang jatuh,” ujarnya sembari tertawa.
Begitulah Tu Niang, ia tidak pernah merasakan letih lesu dalam menjalankan usahanya. Walaupun harus berkali-kali mengangkat barang dagangannya dengan sepeda motor. Mengenang perjuangannya yang sejak kecil hidup susah, tak terasa air mata Tu Niang menetes. Berkali-kali, ia menyeka air matanya dengan tisunya.
Ia menuturkan, saking miskinnya, ia rela dijadikan istri keempat. Ia merasakan hidupnya sangat susah. Ia tidak diterima di keluarga suaminya. Namun, Tu Niang tetap optimis, suatu saat kesuksesan akan diraihnya. Dari hasil berjualan makanan, ia menghidupi kebutuhan keempat anaknya. Selain berjualan makanan, Tu Niang juga piawai membuat penjor dan gebogan. Waktu pembukaan Hotel Hilton Nusa Dua, Tu Niang mendapat pesanan 143 penjor.
Sambil membawa contoh gebongan, Tu Niang masuk dari satu hotel ke hotel. Permintaan pun mulai membanjir, dari hotel di lingkungan Nusa Dua seperti Pertamina Cotagges, Grand Hyat Bali, dan Putri Bali.
Dari hasilnya, ini Tu Niang mampu menyekolahkan keempat anaknya hingga sudah tamat SMA dan bekerja. Yang paling bungsu, sering membantunya di warung saat ada pameran.
Disukai Turis Asing
Makanan buatan Tu Niang, sangat disukai turis asing. Salah satu pengunjung pameran Lorenso asal Argentina mengaku sangat menyukai tipat cantok. Di hotel, ia pernah mencicipi gado-gado. Menurutnya, gado-gado hampir mirip dengan tipat cantok. Selain mencoba, tipat cantok ia tertarik mencoba rujak buatan Tu Niang. Namun, ia mengaku tidak terlalu suka rujak karena pedas. Sekadar mencoba saja, tapi tidak berani banyak,” ujarnya sembari menyisakan di piringnya.
Pertama kali pengunjung pameran datang yang sebagian besar turis asing, nama Tu Niang, begitu dikenal. Makanan tradisional Bali menjadi incaran para tamu. Bukan hanya menyajikan makanan, Tu Niang juga memperkenalkan hari itu merupakan HUT ke-65 Republik Indonesia dengan bahasa Inggris yang fasih.–ast
Sudah dimuat di koran Tokoh, edisi 606, 22 s.d 28 Agustus 2010
Nama Tu Niang, sangat terkenal di Sanur dan Kuta. Selain dandanannya yang unik, ia sering menggunakan sepeda motor untuk mengangkat barang dagangannya dari rumahnya di Sanur menuju tempat pameran. “Dimana saja ada pameran, saya pasti ada. Di Art Centre, Gajah Mada Festival, Sanur Festival, ataupun Kuta Kanival,” ujarnya. Untuk menyasak tinggi rambutnya, Tu Niang hanya membutuhkan waktu 5 menit. Ia mengaku tidak terbeban dengan dandanannya itu. Malah, ia mengaku itu ciri khasnya.
Ada kisah unik yang dituturkan perempuan yang hanya tamat kelas III SD ini. Suatu ketika, ia sedang membawa barang dagangannya dengan sepeda motor melewati jalan Simpang Siur Dewa Ruci Kuta. Tanpa disadari, barang dagangannya jatuh. Ia tidak menyadarinya. Tu Niang melihat ke belakang, banyak orang berteriak. Tu Niang ikut berhenti dan sibuk melihat apa yang dikerumuni di tempat itu. Ia tak menyangka semua barang dagangannya jatuh. Malah ia sibuk berkumat-kamit kebingungan mencari tahu siapa yang punya barang tersebut. Ketika hendak menuju sepeda motornya, ia kaget, keranjangnya tidak ada. “Ternyata itu keranjang saya yang jatuh,” ujarnya sembari tertawa.
Begitulah Tu Niang, ia tidak pernah merasakan letih lesu dalam menjalankan usahanya. Walaupun harus berkali-kali mengangkat barang dagangannya dengan sepeda motor. Mengenang perjuangannya yang sejak kecil hidup susah, tak terasa air mata Tu Niang menetes. Berkali-kali, ia menyeka air matanya dengan tisunya.
Ia menuturkan, saking miskinnya, ia rela dijadikan istri keempat. Ia merasakan hidupnya sangat susah. Ia tidak diterima di keluarga suaminya. Namun, Tu Niang tetap optimis, suatu saat kesuksesan akan diraihnya. Dari hasil berjualan makanan, ia menghidupi kebutuhan keempat anaknya. Selain berjualan makanan, Tu Niang juga piawai membuat penjor dan gebogan. Waktu pembukaan Hotel Hilton Nusa Dua, Tu Niang mendapat pesanan 143 penjor.
Sambil membawa contoh gebongan, Tu Niang masuk dari satu hotel ke hotel. Permintaan pun mulai membanjir, dari hotel di lingkungan Nusa Dua seperti Pertamina Cotagges, Grand Hyat Bali, dan Putri Bali.
Dari hasilnya, ini Tu Niang mampu menyekolahkan keempat anaknya hingga sudah tamat SMA dan bekerja. Yang paling bungsu, sering membantunya di warung saat ada pameran.
Disukai Turis Asing
Makanan buatan Tu Niang, sangat disukai turis asing. Salah satu pengunjung pameran Lorenso asal Argentina mengaku sangat menyukai tipat cantok. Di hotel, ia pernah mencicipi gado-gado. Menurutnya, gado-gado hampir mirip dengan tipat cantok. Selain mencoba, tipat cantok ia tertarik mencoba rujak buatan Tu Niang. Namun, ia mengaku tidak terlalu suka rujak karena pedas. Sekadar mencoba saja, tapi tidak berani banyak,” ujarnya sembari menyisakan di piringnya.
Pertama kali pengunjung pameran datang yang sebagian besar turis asing, nama Tu Niang, begitu dikenal. Makanan tradisional Bali menjadi incaran para tamu. Bukan hanya menyajikan makanan, Tu Niang juga memperkenalkan hari itu merupakan HUT ke-65 Republik Indonesia dengan bahasa Inggris yang fasih.–ast
Sudah dimuat di koran Tokoh, edisi 606, 22 s.d 28 Agustus 2010