Kamis, 22 Maret 2012

Antibiotika Bukan Obat Dewa

Praktik penggunaan antibiotika seringkali dijumpai di kalangan masyarakat dengan bebas. Padahal, dalam kemasan obatnya jelas tertulis bahwa antibiotika harus diperoleh dengan resep dokter.
Dosen Bagian Farmasi Kedokteran FK Unud Dra. I A A Widhiartini, Apt., MSi. mengatakan, praktik ini tidak hanya terjadi di retail farmasi. Namun, ada juga di praktik dokter di daerah perkotaan yang sangat padat. Bahkan, yang lebih buruk, penjualan antibiotika di warung. Ironisnya, antibiotika dianggap sebagai obat biasa yang dapat diperoleh dengan membeli bebas. “Semua itu terjadi karena, keinginan masyarakat untuk cepat sembuh dari segala macam keluhannya. Belum lagi banyaknya promosi obat juga berperan besar dalam pembentukan sikap masyarakat dalam menggunakan obat termasuk antibiotika,” kata Anggota Himpunan Seminat Farmasi Masyarakat (Hisfarma) ini. Tak jarang masyarakat mendiagnosa sendiri keluhannya sebagai penyakitnya dan mempengaruhi dokter untuk meresepkan antibiotika. Hanya sayangnya risiko di balik penggunaan antibiotika secara sembarangan itu tidak diperhatikan.

Ia menegaskan, satu hal yang perlu dipahami akibat praktik tersebut“semakin banyak penggunaan antibiotika semakin sedikit antibiotika yang dapat dimanfaatkan untuk penanganan infeksi” karena meningkatnya kekebalan bakteri terhadap antibiotika. Ia mengatakan, antibiotika bukanlah “obat dewa” yang bisa menangani segala penyakit dan penggunaannya memerlukan pengaturan khusus. “Antibiotika merupakan suatu kelompok obat yang dapat menghentikan pertumbuhan bahkan membunuh jasad renik, spesifiknya bakteri. Sesuai dengan sifatnya sebagai antibakteri, tentunya penyakit lain seperti batuk, pilek biasa, atau diare yang belum jelas penyebabnya belumlah tentu memerlukan penggunaan antibiotika,” ujar IAI Bali ini. Antibiotika juga tidak diperlukan pada penyakit akibat virus. Pengaturan khusus antibiotika ini terutama dikaitkan dengan adanya beberapa permasalahan resistensi bakteri, risiko toksisitasnya terhadap manusia, tingginya pembiayaan, serta konsekuensinya terhadap lingkungan sekitarnya. Pengaturan sangat dibutuhkan, kata dia, mengingat tingginya kasus infeksi di Indonesia.
Ia menyebutkan, ada beberapa pertimbangan dalam penggunaan antibiotika seperti: jenis penyakit infeksi yang sering terjadi yang sesuai gejala klinis pasien, riwayat penyakit dan pengobatan, kondisi fisik: usia, berat badan, ada tidaknya kehamilan atau sedang menyusui, ada tidaknya gangguan fungsi organ saluran cerna, hati dan ginjal.

Sebagai satu obat, kata dia, antibiotika tentu saja memiliki efek samping selain efek utamanya sebagai antibakteri. Efek samping yang sering dijumpai setelah penggunaan antibiotika antara lain, gangguan saluran pencernaan yang diwujudkan sebagai mual, muntah, kembung, dan diare. Gangguan seperti alergi pada kulit dapat berupa efek samping yang ringan berupa kemerahan, gatal-gatal, sampai pada gangguan berat berupa pembengkakan pada mata, lidah, atau wajah yang tentunya memerlukan penanganan lebih lanjut secara cepat. Beberapa efek samping lain, yang dapat muncul pada penggunaan jangka lama adalah infeksi jamur pada mulut dan saluran cerna, sebagai akibat dari gangguan kehidupan bakteri/flora normal oleh antibiotika. Efek lain yang paling berat dapat berkembang sampai terjadinya kesulitan pernafasan dikenal sebagai syok anafilaktik yang berakhir pada kematian jika terlambat penanganannya. Tetrasiklin misalnya, dapat mengakibatkan kerusakan gigi atau tulang, sehingga penggunaannya dihindari pada anak usia pertumbuhan. Antibiotika kloramfenikol dapat menekan sumsum tulang sehingga mengganggu pembentukan sel darah merah. Demikian juga antibiotika golongan tertentu dapat mengakibatkan gejala hepatitis. Antibiotika golongan sulfa dapat memicu pembentukan batu oksalat di ginjal jika dikonsumsi bersamaan dengan makanan/minuman asam. Antibiotika kelompok aminoglikosida selain beresiko vertigo, kerusakan ginjal, dapat juga mengakibatkan ketulian. Beberapa pasien yang mengalami kelainan hati atau ginjal, perlu membatasi penggunaan dan memerlukan pemantauan lebih jauh. Sedangkan pada kehamilan dan menyusui pembatasan antibiotika sangat diperlukan karena dapat mempengaruhi pertumbuhan janin yang dikandungnya.

Konsumsi antibiotika secara tidak tepat dan tanpa pemantauan klinik dalam jangka panjang dapat berakibat buruk terhadap tubuh, terutama bagi anak-anak karena menekan kekebalan tubuh secara alami. Anak-anak menjadi lebih sensitif terhadap infeksi dan menjadi lebih mudah sakit, bahkan ada yang mengkaitkan dengan munculnya alergi di kemudian hari.
Ia mengatakan, sampai saat ini belum ada tanaman obat yang dapat menggantikan antibiotika yang ada saat ini. Beberapa tanaman obat seperti kunyit, sirih, piduh memang memiliki efek antibiotika untuk beberapa mikroba penyebab penyakit secara laboratorium, namun memerlukan kajian lebih lanjut dan belum mampu menggantikan antibiotika yang sudah ada. –ast

Tips Penggunaan antibiotika
Minumlah antibiotika sesuai petunjuk dokter atau apoteker antara lain:
1. Untuk antibiotika sirup kering, apakah sudah siap digunakan ataukah memerlukan pengenceran? Jika sediaan masih berupa sirup kering maka perhatikan cara menyiapkan sediaan pada kemasan. Perhatikan volume air minum yang ditambahkan agar dosisnya sesuai.
2. Jika berupa puyer atau serbuk per oral, dapat ditambahkan 2-5 ml air untuk memudahkan minum obat.
3. Jika pada label dicantumkan penggunaan 1 kali sehari, 2 kali sehari atau 3 kali sehari, maka penggunaan yang tepat adalah setiap 24 jam, 12 jam atau setiap 8 jam.
4. Konfirmasi cara penggunaannya yang tepat sebelum, bersamaan, atau sesudah makan. Demikian juga kombinasinya dengan makanan atau minuman agar penyerapan obat dapat berlangsung optimal.
5. Hubungi dokter atau apoteker jika terjadi reaksi obat yang berlebih atau tidak lazim untuk menghindari reaksi obat yang berbahaya.
6. Simpan sediaan antibiotika dalam kemasan dalam keadaan tertutup rapat, pada kondisi suhu dan kelembaban sesuai petunjuk pada label atau saran apoteker agar stabilitas dan efektifitas obat optimal sepanjang batas penggunaannya..
7. Buanglah sisa sediaan antibiotika yang tidak digunakan, dalam kemasan utuh, tutup rapat dengan kantong terpisah agar mudah dipisahkan dan tidak mencemari lingkungan.
8. Jangan menggunakan antibiotika yang pernah digunakan sebelumnya untuk menangani keluhan yang sama berikutnya. Perlu diingat bahwa penyebab timbulnya penyakit dapat berbeda-beda, walaupun terkadang keluhan atau gejala yang ditimbulkan sama. –ast

Koran Tokoh, Edisi 685, 12 s.d 19 Maret 2012

Tidak ada komentar: