Jumat, 21 Oktober 2011

Bali Menuju Pencapaian MDGs


KEPALA Litbang Bappeda Bali Dra. Wayan Trisningsih M. Si. mengungkapkan, Millenium Development Goals ( MDGs) merupakan komitmen untuk mempercepat pembangunan manusia dan pemberantasan kemiskinan. MDGs terdiri atas delapan tujuan utama; memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrem, mewujudkan pendidikan dasar untuk semua, mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, menurunkan angka kematian, meningkatkan kesehatan ibu hamil, memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya, memastikan kelestarian lingkungan, dan mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. Target tujuan MDGs ini diharapkan tercapai tahun 2015, sejak dideklarasikan tahun 2000 oleh pemimpin dunia di New York, AS.
Ia memaparkan, bagaimana kondisi Bali dalam pencapaian MDGs tahun 2015. Tujuan MDGs nomor 1-6 merupakan domainnya perempuan. Program sudah disusun berdasarkan rencana aksi daerah dalam rencana pembangunan jangka menengah.
Pembangunan milenium Prov. Bali dalam memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrem dilakukan dengan berbagai program, di antaranya, pembinaan upaya kesehatan dengan JKBM, program kependudukan dan KB, beasiswa untuk siswa SD, SMP, SMA. Program wajib belajar 12 tahun digiatkan. Contohnya, ada sekolah satu atap, SD dan SMP. SMK mulai digalakkan, dan bagi siswa yang tidak mampu sudah disiapkan beasiswa di beberapa SMK diantaranya SMK Bali Mandara. Beasiswa mahasiswa miskin pada fakultas langka peminat. Program rehabilitasi sosial seperti pelayanan lansia di Panti Wana Seraya Denpasar dan Panti Jara Mara Pati Singaraja dan pelayanan penyandang cacat, program perlindungan dan jaminan sosial kepada korban bencana alam dan bencana sosial, program bantuan bedah rumah, dan bantuan modal usaha KK miskin, pelaksanaan bursa kerja, fasilitas PNPM mandiri perdesaan, penyediaan proyek air bersih, simantri, pengembangan industri kecil dan menengah. Selain itu, ada juga perbaikan gizi masyarakat, pemberdayaan posyandu, dan peningkatan ketahanan pangan.
Ia mengatakan, Bali menduduki posisi nomor dua setelah DKI Jakarta dalam persentase kemiskinan. Persentase kemiskinan tahun 2009: 5,13%, tahun 2010: 4,88%, dan tahun 2011 diharapkan mampu 3,95%. – ast.

Cegah Eksodus Anak-anak ke Kota
Bukan hanya dengan Program Beasiswa

KONSULTAN gender Dra. Sita Thamar Van Bemmelen, M.A. mngatakan, berbicara kemiskinan dan kelaparan, sebaiknya kita menengok ke desa terpencil. Penelitian pernah dilakukannya bersama Luh Arjani dari Pusat Studi Wanita Unud, di Desa Baturinggit, Kubu, Karangasem. Hal itu ditegaskan di depan peserta Pelatihan Gender dan MDGs (Millenium Development Goals) di Kantor LSM Bali Sruti Denpasar, 8-9/10.

Masalah mereka, kata Sita, minat untuk sekolah tidak ada. “Anak-anak di sana melihat teman-temannya bekerja ke kota mendapatkan uang banyak, bisa beli baju dan ponsel dan saat hari raya bawakan orangtua mereka di kampung uang dan oleh-oleh. Hal ini sangat menarik minat mereka untuk ikut datang ke kota mencari pekerjaan. Para orangtua mereka juga tidak bisa mengarahkannya karena kehidupan mereka miskin tidak ada solusi lain yang dilakukan kecuali menyetujui anak mereka menjadi urban bekerja ke kota. Walaupun pemerintah memberikan beasiswa, itu tidak akan menyelesaikan masalah,” ujarnya.
Seharusnya, kata Sita, ada kebijakan pemerintah untuk mencegah eksodus anak-anak di bawah umur bekerja sebagai pembantu rumah tangga ke kota. “Ada suatu aturan yang melarang anak-anak usia di bawah 15 tahun bekerja. Ada juga sanksi kepada orangtuanya dan si penerima pembantu,” ujarnya. Kalau tidak, kata Sita, apa mungkin program MDGs bisa tercapai. “Bagaimana mau sekolah, makan saja susah,” katanya.

Sita mengungkapkan, saat penelitian ia bertemu seorang guru SD di Baturinggit yang atas inisiatif sendiri mendirikan SD dan SMP satu atap dengan harapan lebih mudah bagi siswa untuk melanjutkan pendidikannya. Sita sangat menyayangkan, tidak dibukanya SMK pertanian di sana. Hanya ada satu SMK jurusan pariwisata. Padahal, kata dia, daerah pariwisata hanya ada di Tulamben dan Amed. “Di sana daerahnya kering hanya tanaman tertentu yang cocok. Seharusnya, pemerintah membuka SMK pertanian yang mengajarkan pembudidayaan tanaman tertentu yang bisa menghasilkan untuk menopang kehidupan mereka,” paparnya. Berdasarkan data yang diberikan kepala sekolah di Desa Baturnggit, tahun 2006-2007 dari 38 siswa SD yang lulus, hanya 18 orang yang melanjutkan ke SMP. Dari jumlah itu hanya dua perempuan.
Ia menilai, program beasiswa untuk anak yang kurang mampu, bukanlah solusi, apalagi untuk mencapai target MDGs. Wajib belajar 9 tahun mungkin bisa berhasil di beberapa bagian wilayah di Bali tertentu saja.
Ia mengharapkan, pemerintah memiliki basic plan. “Bukan tahun ini program begini, tahun depan program begitu, tanpa ada kelangsungan dan kesinambungan program. Apalagi tidak punya data yang valid,” kata Sita. Ia sempat berkunjung ke salah satu LSM yang bergerak di bidang pendidikan. Ironisnya, yang ikut kegiatan belajar kejar paket C adalah para calon legislator.

Problem Ketiadaan Data
Pembicara lainnya, Agung Wasono, peneliti di Kemitraan mengatakan, mengungkapkan MDGs memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya, MDGs memberikan panduan yang jelas dan dapat diukur secara sendiri maupun bersama-sama negara lain. Kekurangannya, pendekatan MDGs yang terlalu kuantitatif (numerik), sehingga acapkali abai terhadap kualitatif (problem mapping dan problem solving). Di Indonesia, problem paling utama dalam menghitung pencapaian MDGs adalah ketiadaan data, sehingga acapkali harus memakai indikator pengganti (proxy).
Ia menyebutkan, beberapa kritik terhadap implementasi MDGs di Indonesia; Program-program MDGs tersebar tidak karuan dan tumpang tindih antar-SKPD, alokasi belanja APBD yang sangat minim, untuk pelayanan publik kurang dari 40%, bahkan ada yang hanya 20-10%. Untuk MDGs mungkin hanya 1-5% APBD. Laporan pencapaian MDGs di Indonesia hanya memberikan porsi bagi program-program pemerintah. Laporan MDGs di Indonesia disusun dengan pendekatan kuantitatif bukan kualitatif, sehingga sulit menyusun rekomendasi yang pas. Masyarakat sipil menyusun laporan tandingan yang lebih kuantitatif, kelemahannya adalah data yang minim. Kegagalan MDGs sering menjadi alat untuk meminta utang baru oleh pemerintah.
Menurut Agus, menyiapkan data yang komprehensif (baik kuantitatif maupun kualitatif 5W+1H), mengetahui problem utama kegagalan pencapaian MDGs secara terperinci tiap target atau indikatornya, menyusun alokasi program dan anggaran yang tepat wilayah dan sasaran, melakukan evaluasi secara partisipatif, advokasi terhadap MDGs harus tetap berlanjut sampai setelah 2015.

Perlu Pencalonan Mandiri
Prof. Dr. Tjok Istri Putra Astiti, S.H. M.S. menyebutkan bentuk ketidakadilan gender yakni diskriminasi, subordinasi, eksploitasi, beban kerja yang berat, marginalisasi, ketidakadilan, ketimpangan, isu kekerasan (fisik, psikologis, seksual, dan ekonomi).
Ia mengungkapkan, angka buta huruf perempun lebih tinggi. Angka partisipasi sekolah dan tamatan SMP ke atas serta usia sekolah, lebih banyak laki-laki. Contoh, sebuah keluarga yang secara ekonomis pas-pasan memiliki dua anak, laki-laki dan perempuan. Si adik rela berhenti sekolah agar si kakak yang laki-laki bisa meneruskan sampai kuliah. Dalam bidang ketenagakerjaan, upah laki-laki lebih tinggi, persyaratan kerja menguntungkan laki-laki. Contoh, yang diterima bekerja dengan syarat belum menikah. Setelah bekerja, selama bekerja beberapa tahun tidak boleh hamil. Bagaimana meningkatkan jumlah perempuan sebagai pembuat keputusan politik? Ketua LSM Bali Sruti Dr. Ir. Luh Riniti Rahayu, M.Si., berpendapat, pahami pentingnya keterwakilan perempuan dalam lembaga politik dan mendukung upaya meningkatkan jumlah perempuan yang duduk dalam memengaruhi proses pembuatan keputusan politik. Ia mendesak parpol agar mencantumkan kualifikasi/syarat menjadi caleg secara terbuka dan adil gender. Menetapkan minimal 30% perempuan sebagai calon anggota pengurus parpol, mendesak pemerintah agar menetapkan UU Pemilu membolehkan pencalonan mandiri sebab ini memberi kesempatan yang lebih besar bagi perempuan untuk mencalonkan diri. Selain itu, sosialisasikan pentingnya keterwakilan perempuan dalam pembuatan keputusan politik kepada media, lingkungan masyarakat dan keluarga. Mendorong perempuan untuk berani mengisi jabatan strategis pembuat keputusan. Mendesak parpol dan lembaga lainnya untuk mendukung dan menerapkan peningkatan jumlah perempuan dalam lembaga politik. Buat jaringan kerja sama antara kelompok perempuan baik di lokal, nasional, dan internasional. Pilih kandidat perempuan dalam pemilu mendatang untuk mewujudkan keterwakilan perempuan dalam politik.
Sebanyak 20 perempuan mengikuti pelatihan Gender dan MDGs di Kantor Bali Sruti tersebut. Sebagian besar peserta anggota Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/kota se-Bali.
Narasumber; Prof. Dr. Tjok Istri Putra Astiti, S.H. M.S. (Pakar Gender Unud), dan Drs Wayan Trisningsih, M.Si (Kepala Litbang Bappeda Prov. Bali). Fasilitator; Ir. Anny Partiwi, M.Pd (Widyaiswara Badan Diklat Pemprov. Bali), dan Dra. Sita Thamar van Bemmelen, M.A. (konsultan gender). -ast

Tidak ada komentar: