Senin, 17 Oktober 2011

Kelas Memasak Diminati Turis Asing


Cooking class atau kelas memasak sangat digemari para perempuan. Bahkan, di Ubud, cooking class sangat diminati turis asing yang datang ke Bali. Salah satu pengajar cooking class Janet De Neefe, mencoba berbagi pengalamannya mengajar. Pemilik Casa Luna Restaurant ini mengatakan, sebagian besar turis asing yang tertarik mencoba cooking class berasal dari Australia. “Ada juga beberapa turis Amerika Serikat, Taiwan dan turis Jepang. Turis lokal juga ada, tapi prosentasenya sedikit,” tutur istri Drs. Ketut Suardana , M.Phil.
Kelas memasak ini pertama kali dibuka tahun 1993. Cooking class dilakukan sekali dalam seminggu. Sejak tahun 1994 dengan banyaknya permintaan, kelas memasak dilakukan enam kali, mulai Hari Senin sampai Jumat dan Minggu. “Hari Sabtu kelas memasak libur,” ujar ibu empat anak ini. Satu kelas minimal diisi 8 siswa dan paling banyak 15 orang. Awal dibuka, Janet terjun langsung mengajak memasak. Namun, sejak sepuluh tahun lalu, salah seorang karyawannya di Casa Luna Restaurant Gusti Ayu Made Madiani menggantikannya mengajar. Cooking class mengambil tempat di rumah Janet, biasa disebut guest house honeymoon. “Memasak dengan peralatan masak yang simpel. Tidak semua siswa menggunakan kompor. Kalau ada yang ingin membantu, boleh-boleh saja. Sebagian besar mereka duduk sambil melihat dengan seksama,” kata Janet.

Masakan yang diajar meliputi makanan yang familiar di Indonesia seperti nasi goreng, mie goreng, sate ayam, kare ayam, dan masakan khas Bali seperti lawar, sate lilit, tum, betutu, dan pepes. Peserta kelas memasak juga diajak turun langsung ke pasar Ubud. Mereka diberi kesempatan ikut berbelanja dan melihat cara transaksi tawar menawar antara penjual dan pembeli. Menurut Janet, kegiatan tur ke pasar sangat diminati siswa kelas memasak. Mereka langsung bisa belajar jenis bumbu dan sayuran yang akan dimasak. Waktu berbelanja bisa menghabiskan dua jam, karena keasyikan melihat-lihat bahan-bahan makanan yang dijual di pasar, dan keseharian para pedagang di Pasar Ubud.

Tiap siswa dikenai biaya Rp 350 ribu untuk belajar memasak. Siswa boleh ikut kelas lebih dari sekali. Namun, kata Janet, sebagian besar siswa hanya ikut dua kali.
Menurut Janet, beberapa siswa mengaku kesulitan dalam mencampur bumbu dan menjaga keseimbangan rasa. Ada yang keasinan, kepedasan, atau kurang garam. Untuk itu, hal pertama yang diajarkan Janet, mengenal bumbu. Menurutnya, bumbu merupakan fondasi makanan. Badan, energi, dan jiwa merupakan energi yang dapat ditemui dalam bumbu. Bumbu mampu menghasilkan makanan yang lezat, tapi bumbu juga berfungsi untuk kesehatan. Ia mencontohkan, jahe bersifat menghangatkan bisa untuk menyembuhkan sakit tenggorokan, kunyit untuk antibiotik bisa menyembuhkan memar, bawang bersifat mendinginkan tubuh. Menurutnya, bumbu memiliki kekuatan penyembuhan dan kekuatan magis untuk herbal tonik. Kemurnian rempah-rempah untuk membersihkan hati, memperlancar peredaran darah, dan menjaga kesehatan tubuh. Ia mengatakan, tidak pernah melakukan penelitian tentang khasiat rempah-rempah Indonesia, tapi berdasarkan beberapa buku yang dibacanya, selain untuk bahan masakan bumbu juga bisa dipakai bahan jamu kesehatan. “Kalau semua bumbu yang kita pakai memasak mengandung manfaat bagi tubuh, makanan juga dapat menjadi obat untuk menjaga kesehatan,” ujar Janet.

Untuk keharuman masakan, ia selalu menekankan pada siswanya, untuk menggoreng bumbu. Janet tak lupa menyelipkan informasi seputar kebudayaan Bali sambil mengajar memasak. Walau terkesan sulit, para siswa mengaku ke Janet sangat puas dan terkesan dengan cooking class. Bahkan, diantara para siswanya merupakan penggemar masakan Indonesia dan makanan Bali. Menurut Janet, tujuan mereka belajar memasak karena ingin tahu bagaimana proses pembuatan makanan yang mereka makan. Hari Senin, Rabu, dan Jumat kelas memasak mulai pukul 09.30 sampai 1 siang. Hari Selasa dan Kamis mulai pukul 8 sampai 1 siang. Hari Minggu pukul 17.30 -21.00
Jadwal tur ke pasar hanya dilakukan Hari Selasa dan Kamis untuk pembelian bahan. Menu yang dimasak, Hari Senin fokus pada masakan ikan laut seperti pepes ikan, kare, plecing kangkung dan sambal. Hari Selasa dan Kamis sebagian makanan vegetarian dan masakan rumah seperti tempe goreng dan sambal terung. Rabu makanan khas Bali seperti lawar, sate lilit, gado-gado, dan plecing buncis. Hari Jumat sate tusuk, asinan, dan acar. Hari Minggu, masak ayam betutu dan nasi kuning. Setelah acara memasak selesai, para siswa makan bersama-sama hasil masakan tadi.

Menurut Direktur Festival Ubud Writers & Reader ini, makanan yang paling gampang dibuat gado-gado dan nasi goreng. Ia menuturkan, ingin sekali belajar membuat coto makasar. Saat ke makasar, ia mencoba makanan khas tersebut. “Rasanya enak sekali, tapi saya belum mampu membuat seenak aslinya,” tuturnya sembari tertawa. Janet bukan hanya suka memasak, tapi ia juga hobi makan. Semua makanan Bali disukainya, mulai dari lawar, sate lilit, babi guling, betutu, dan sambal matah. Ia tidak mengajarkan membuat babi guling. Tapi kalau ada tamu yang tertarik ingin makan, ia sarankan datang ke warung babi guling Bu Oka yang sangat terkenal di Ubud.

Menurut Gusti Ayu Made Madriani, pengajar cooking class milik Janet, sebelum menjadi guru, ia supervisor di Casa Luna Restaurant. Sejak sepuluh tahun lalu, ia ditarik untuk menggantikan Janet mengajar kelas memasak.
Gusti Ayu menuturkan, ia belajar memasak secara otodidak. Awalnya, ia hanya belajar dari orangtuanya, dan mencoba sendiri dari resep yang ia baca. Kadang, pergaulannya dengan tamu, memberinya banyak informasi masakan Indonesia, Bali, maupun masakan Barat. Menurutnya, ada beberapa orang Bali yang mengikuti kelas memasak. Sebagian besar, mereka bekerja di rumah orang asing. Ia mengatakan, turis yang datang belajar dari berbagai kalangan, mulai dari pejabat sampai orang biasa. “Sebagian besar memang perempuan,” ujar perempuan asal Ubud ini. Saat mengajar, ia dibantu tiga asisten untuk menyiapkan bumbu dan peralatan memasak. Ia mengaku senang, sejak jadi guru kelas memasak, ia lebih banyak menguasai teknik memasak karena ia dituntut terus belajar. -ast

Pertamakali Datang Langsung Jatuh Cinta

Kecintaan Janet pada masakan Bali, berawal dari kecintaannya pada kebudayaan Bali yang mampu menarik seluruh perhatiannya hingga akhirnya dia memutuskan untuk menetap di Bali dan menikahi lelaki asal Ubud Drs. Ketut Suardana , M.Phil. Janet mengarang sebuah buku dalam bahasa Inggris berjudul “fragrant rice” yang menceritakan ketertarikannya pada masakan Bali dan berisi beberapa resep masakan, dan kisah hidupnya.
Janet pertamakali datang ke Bali tahun 1974. Waktu itu usianya baru menginjak 15 tahun. Ia datang bersama keluarganya untuk berlibur ke Ubud. Ia menginap di Hotel Tjampuhan. Janet remaja begitu terpesona melihat keindahan pemandangan Ubud dan keramahtamahan masyarakat Bali yang dilihatnya. Saat berjalan-jalan ke luar hotel, sapaan ramah helo, helo, yang ia dengar begitu berkesan dan sangat memikat hatinya. Ia mengaku, keindahan Bali terasa sampai mengoncang jantung dan hatinya untuk suatu hari kembali lagi ke Bali. “Saya langsung jatuh cinta pada Bali,” katanya.
Tahun 1984 ia datang lagi ke Ubud bersama teman kuliahnya Jo. Kedatangan keduanya ini mempertemukannya dengan Ketut yang suatu hari kelak akan menjadi suaminya.
Perkenalannya dengan Ketut membuahkan rasa simpatik di hati Janet. Walau hanya tiga minggu, pertemuan itu begitu berkesan. Sampai di Australia, Janet mencari infromasi tentang buku masakan Bali. Ia mulai mempelajari bumbu-bumbu Bali untuk merasakan sensasi Bali kembali.

Tahun 1985 ia kembali ke Bali untuk serius mempelajari masakan Bali dan menulis buku tentang masakan Bali dan ingin memperkenalkan kepada dunia. Janet banyak belajar kepada Kasi, saudara perempuan Ketut. Menurut Janet, ia tukang masak yang hebat. Kasi selalu sabar mengajar Janet belajar memasak. Disamping itu, Ketut Ngetis, ayahanda Ketut juga seorang ahli pembuat makanan Bali. Tiap hari Janet selalu mencatat resep makanan yang dimakan. Kemana-mana ia selalu membawa catatan, pulpen, dan kamera. Janet bukan hanya belajar masakan Bali, ia juga belajar budaya Bali lewat keluarga Ketut.
Delapan bulan berikutnya, Janet mengajak Ketut ikut bersama ke Merlbourne untuk dikenalkan dengan keluarga besarnya. Tahun 1987 mereka berdua berangkat ke Melbourne. Janet sempat mengajar masakan Indonesia di salah satu kampus di sana. Ketika kesepakatan dua sejoli ini sudah terjalin, tahun 1989, mereka memutuskan untuk menikah di Ubud. Seiring perjalanan perkawinan mereka, bisnis pasutri ini juga berkembang. Selain memiliki galeri, dan penginapan, mereka juga memiliki dua restoran yang terkenal di Ubud yakni Indus dan Casa Luna. Dari pasutri beda negara ini lahirlah empat orang anak, Dewi, Krishna, Laksmi, dan Arjuna. -ast


Koran Tokoh, Edisi 664

Tidak ada komentar: