Minggu, 07 Februari 2010

Gerakan Peduli Perempuan dan Anak Bali

Sebanyak 530 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam kurun waktu 2009. Kasus terbagi menjadi 423 kekerasan terhadap perempuan (KTP) dan 107 kekerasan terhadap anak (KTA). Kekerasan meliputi fisik, psikis, dan seksual. Padahal, kekerasan ekonomi dan penelantaran juga termasuk tindak kekerasan terhadap perempuan. Ironisnya, kekerasan ini jarang dilaporkan. Demikian diungkapkan Ketua LSM Bali Sruti Luh Riniti Rahayu, dalam acara hearing dengan Komisi IV DPRD Bali, Senin (21/12) di kantor DPRD Bali. Acara yang dihadiri 50 orang dari unsur LSM, akademisi, dan tokoh peduli perempuan dan anak dengan menamakan diri Gerakan Peduli Perempuan dan Anak Bali ini diterima 9 orang dari Komisi IV DPRD Bali; I Nyoman Parta, Ketut Kariyasa Adnyana, Utama Dwi Suryadi, I Ketut Mandia, I Nyoman Laka, I Gede Sudarma, I Nyoman Rawan Atmaja, Tjok Gd. Asmara Putra Sukawati, Tjok Raka Kerthiyasa.

Desak DPRD Wujudkan Perda

Riniti mengatakan, tiap tahun tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak makin meningkat. Tahun 2004 sebanyak 191 kasus, tahun 2005 sebanyak 251 kasus, tahun 2006 sebanyak 295 kasus, tahun 2007 sebanyak 546 kasus. Tahun 2008 mengalami sedikit penurunan yakni sebanyak 385 kasus. Namun, tahun 2009 kembali mencuat. Peningkatan ini terjadi karena masyarakat yang mengalami kekerasan sudah tidak tahan lagi dan kasus tidak dapat ditutupi lagi. “ Mereka sudah babak belur, hampir mati, sehingga akhirnya melapor,” kata Riniti.

Ia menilai, kasus kekerasan dalam masyarakat seperti fenomena gunung es. Tampak hanya di puncaknya saja, sedangkan yang tidak tampak jumlahnya jauh lerbih besar dan berbahaya. “Kaum perempuan yang mengalami kekerasan masih dapat bersuara, masih bisa melapor, namun bagaimana dengan kasus kekerasan yang dialami anak-anak. Anak dipaksa bekerja, dipaksa melacur, dijual, disiksa secara fisik dan psikis tidak mengerti akan hak-haknya. Mereka tidak tahu harus berbuat apa,” papar Riniti.

Kekerasan terhadap anak di Bali seperti pekerja anak. Prosentase anak bekerja sebagai dampak krisis ekonomi yang terus berkepanjangan telah menambah posisi anak Bali untuk bekerja. Anak korban eksploitasi seksual komersial. Lebih dari 30% dari pekerja seks komersial (PSK) masih berada di bawah 18 tahun. Anak korban trafficking, penipuan, dan penculikan, yang akhirnya dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga atau PSK di daerah wisata. Anak korban kekerasan, anak korban narkotika dan HIV/AIDS. Banyak anak-anak sebagai pengguna narkotika, dan tertular HIV/AIDS.

Bahkan 133 anak telah terinfeksi HIV/AIDS. Anak sebagai pengemis dan anak jalanan. Ekploitasi anak sebagai pengemis dan anak jalanan telah berlangsung dua dasa warsa berasal dari kantong daerah miskin Bali seperti Desa Munti Gunung, Pedahan Karangasem. Anak jalanan ini terus meningkat dan sebagi besar tidak bersekolah. Kasus perbudakan anak ini terjadi di daerah Kuta, Legian yang melibatkan orangtuanya sendiri, orang terdekatnya, serta aparat. Anak yang memerlukan perlindungan karena berbagai hal, seperti karena perebutan hak asuh karena perceraian. Tahun 2009 saja tercatat 374 perceraian di pengadilan negeri. Anak penyandang cacat yang disembunyikan keluarga, atau anak yang hidup di daerah miskin dan terpencil.


Sampai saat ini, kata Riniti, meskipun banyak stakeholder terlibat dalam sosialisasi, advokasi, dan pendampingan, namun kasus pelaporan tindak kekerasan hanya sebagian kecil yang dapat tertangani. “Sangat susah mengajak kroban melapor. Jangankan melapor, diajak menceritakan kasus yang dialaminya saja sangat sulit,” kata Riniti.
Ia menyayangkan sikap perempuan yang cederung diam dan memendam sendiri masalahnya karena ia takut bicara. Mereka takut disalahkan lagi. Atau takut tidak mendapatkan dukungan dari keluarganya. Tak jarang, apabila korban melapor ke polisi kadang-kadang korban memperoleh jawaban masalah keluarga harus diselesaikan sendiri dalam keluarga.

Ia menilai kurangnya kemampuan penanganan kasus KTP dan KTA karena kurangnya pelayanan korban yang berkelanjutan yang disebabkan minimnya fasilitas seperti rumah aman, konselor, psikoterapis maupun dana operasional. Selain itu, belum adanya sistem yang terkoordinasi yang mengatur secara terpadu tentang KTP dan KTA yang dapat diakses oleh siapa saja yang bekepentingan.

Wakil Ketua KPAID Luh Putu Anggreni mengaku sangat kecewa melihat minimnya perhatian masyarakat pada KTP dan KTA ini. “Ketika terjadi kasus rabies pemerintah langsung merespon dengan membuat perda anjing. Semua ketakutan karena kasus ini mengganggu pariwisata. Ketika anak-anak dan perempuan menjadi korban kekerasan, masyarakat malah berkata, itu hal biasa. Dia memberikan kesempatan. Contohnya, pakaiannya terbuka sehingga mengundang orang lain bermaksud buruk. Mereka layak diperkosa. Pandangan masyarakat sangat permisif terhadap kasus yang dialami perempuan dan anak,” ungkap Anggreni.

Ia menegaskan, kedatangan mereka ingin membuka mata para wakil rakyat. “Begitu banyak persoalan perempuan dan anak. Kedatangan kami harus diperhatikan, tidak sekadar didengar, tapi diperhatikan dengan baik, dan lakukan suatu perubahan. Kami berharap lahir perda-perda yang mengakomodir kepentingan perempuan dan anak seperti perda gepeng, dan perda anak cacat,” katanya.

Pendapatan 10 Juta Sebulan
Sementara Asana Viebeke dari I am an Angel memaparkan isu yang begitu mencengangkan. Ekspoitasi anak Bali yang dilakukan orang Bali sendiri. Kondisi alam minim potensi, tidak tersedianya air, jalan, listrik, kurangnya pendidikan, broken home, residivis, bukanlah suatu alasan sebagai pembenaran melakukan perbudakan kepada anak-anak.

“Hukum perlindungan anak sudah ada, tapi tidak diterapkan dalam kasus ini. Tidak ada sanksi hukuman denda atau penjara bagi pelaku, germo pedofilia. Tidak ada upaya serius membangun rumah aman bagi anak-anak ini. Sudah lama terjadi perbudakan anak-anak asal Karangasem di jalanan, pantai Kuta dan Legian,” ungkapnya. Ironisnya, usia mereka berkisar 0 -12 tahun. Mereka dari bayi di bawa ke jalan. Setelah besar mereka disuruh sebagai pengemis jalanan. Lebih besar lagi, mereka disuruh jual gelang, dan menjadi PSK. Bos mereka adalah keluarga sendiri. Sekolah tidak menjadi prioritas. Mereka tinggal di jalan Mataram, Kubu Anyar Kuta, dan Tegal Denpasar Barat. Kegiatan mereka menjual gelang, mengemis, dan PSK. Jika pendapatan mereka tidak mencukupi mereka tidak boleh tidur dan terus bekerja di jalanan. “Anak-anak ini bahkan bisa berpendapatan 10 juta sebulan,” ujarnya.

Bos dari keluarga sendiri yang bertindak kejam diberikan keleluasaan oleh semua untuk menentukan keputusan terhadap anak-anak tersebut. Hal ini, kata dia, mengakibatkan ekspoitasi terus berlangsung. Ironisnya, petugas patroli dari kantor Lurah menyakiti mereka dengan berbagai cara seperti mencukur rambut, memukul, membersihkan toilet, bahkan merampas uang mereka, disaat menunggu orangtuanya datang menjemput. Asana menawarkan berbagai solusi untuk mengatasi hal ini. “Putuskan jaringan mereka dengan menindak pelaku ekpoitasi. Jaringan ini bersifat hemogen berasal dari satu desa atau kelompok, sehingga mudah memutuskan jaringannya. Hentikan pihak-pihak yang bermain di belakang mereka,” tegas Asana.
Selain itu, kata Asana, peduli terdapat pemimpin di wilayah mereka beraktivitas. Lakukan pemberdayaan bagi anak jalanan dan keluarganya. “Kami sudah melakukan pendekatan sejak tahun 2003 di Munti Gunung dan Pedahan. Kami melihat sendiri rumah gedongan para bos, sementara tetangganya tidak punya rumah,” ujarnya.


Rumah Aman bagi Anak
Anak adalah masa depan bangsa, karena itu, anak memunyai hak mendapatkan pendidikan dan pengasuhan yang layak. Kalimat itu dilontarkan Kadek Ridoi Rahayu dari Forum Anak Daerah Provinsi Bali. Sebagai salah satu duta anak berprestasi, Doi, mengimbau para anggota DPRD Bali serius menangani masalah kekerasan kepada anak-anak. Sejak dibentuk tahun 2006, Forum Anak ikut aktif menyosialisasikan UU perlindungan anak dan konferensi anak. Forum Anak menggagas Sekeha Gerakan Anti Rokok (Segar) Bali. Ia menyatakan, anak-anak Bali ingin mendapatkan hidup sehat dan bebas asap rokok. Ia menilai pemerintah masih belum peduli terhadap dampak asap tembakau. Forum Anak juga aktif menyosialisasikan UU Perlindungan Anak di LP anak Karangasem dan Munti Gunung.

Ia menegaskan, Forum Anak bukan organisasi kacangan. Berbagai forum nasional dan internasional sudah dikuti. Ini membuktikan, kata Doi, anak-anak Bali banyak berprestasi.
Deklarasi Anak Bali yang dibacakan Sri Mahadhana, Duta Anak 2009, menuntut segera dibentuk rumah ramah anak bebas dari kekerasan, Perda perlindungan anak, dan dukungan gerakan anti rokok dengan pembatasan iklan rokok sebagai pencegahan remaja menjadi perokok pemula.

133 Anak Terinfeksi HIV/AIDS
Mercya Susanto dari KPA Daerah Bali menyodorkan data dari 4000 yang tercatat, 133 anak sudah terjangkit HIV/AIDS. Sampai saat ini belum ada obat yang mampu menyembuhkan. Anak-anak memunyai hak akses kesehatan. Perempuan 2/3 kali lebih rentan kena HIV/AIDS. “Tidak usah dicari ujung pangkalnya. HIV/AIDS di Bali sudah menunggu waktu, karena masalah ini sudah masuk ke ranah keluarga. Kalau masih ingin Wayan, Putu atau Ketut ada di Bali, segera buat perangkap hukum bagi perlindungan anak dan perempuan,” tegas Mercya.
Sukawati dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan (P2TP2) Prov. Bali mengusulkan agar anggota DPRD Bali menyiapkan anggaran berspektif gender. Selama ini, kata Sukawati, kendala yang dialami korban KDRT adalah masalah visum “Biaya visum ditanggung korban sendiri,” katanya.
Ia menyayangkan, selama ini sering ada wacana rumah aman, tapi realisasinya belum terwujud. Pemahaman KDRT selalu dikatakan masalah pribadi. Padahal, berdasarkan UU itu termasuk tindakan kejahatan. Ia menegaskan segera dibentuk Perda yang mampu memberi perlindungan, pencegahan dan jaminan serta rehabilitasi bagi korban KDRT.

Diskriminasi Ganda Penyandang Cacat
Ketut Mursi dari Himpunan Wanita Penyandang Cacat meminta anggota DPRD Bali mendengar aspirasi para penyandang cacat. Mereka menuntut hak yang sama dengan masyarakat umumnya, yakni kesamaan mendapatkan pendidikan, berpartisipasi di bidang politik, akses kemandirian, dan ketenagakerjaan serta kewirausahaan. Saat ini, kata Mursi, para penyandang cacat memiliki diskriminasi ganda yakni sebagai penyandang cacat dan perempuan. Padahal, berdasarkan UU Kecacatan Tahun 1997 Nomor 4 dinyatakan” Penyandang cacat bagian masyarakat Indonesia memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam kehidupannya.“

Usia Gepeng 5-10 Tahun
Menanggapi masalah tersebut, Ketua Komisi IV I Nyoman Parta, S.H., mengatakan Perda gepeng akan segera dibahas pertengahan Januari 2010. Setelah melakukan pemantauan langsung ke lapangan, dan berkoordinasi dengan Dinas Sosial Prov. Bali, hanya 187 orang yang terlibat didalamnya. Usai berkisar 0-5 tahun,dan 45 tahun ke atas. Usia terbanyak 5-10 tahun. Mereka rata-rata berasal dari Munti Gunung, hanya 78 KK. “Walaupun hanya 78 KK tapi menyelesaikannya sangat sulit,” kata Parta. Setelah bertemu dengan masyarakat sekitar mereka, para gepeng ini termasuk masyarakat abnormal atau bromocorah yang susah diajak bicara. “Keberadaan mereka kadang juga menguntungkan masyarakat setempat. Sumbangan lebih banyak, perhatian lebih besar, sehingga makin sulit menyelesaikan masalah ini,” kata Parta. Ia mengatakan, mereka yang menggepeng adalah orang yang sudah dikeluarkan dari adat. Persolan ini menjadi kompleks. Menurutnya, kita dapat meniru Kota Jakarta yang sejak setahun lalu para gepeng mulai berkurang. Selain membuat rumah singgah, dikenakan sanksi bagi yang memberikan uang. “Bukan melarang orang menjadi dermawan, tapi kalau terus diberikan di jalan, mengemis dianggap sebuah pekerjaan,” paparnya.

Wakil Ketua Ketut Kariyasa Adnyana, S.P. mengatakan, perangkat hukum akan dibentuk dulu, kemudian baru bicara anggaran, seperti perda gepeng, dan perda perlindungan untuk anak. Ia berharap laporan permasalahan dibuat seperti sensus agar dapat dievaluasi tiap tahun. “Sehingga bisa kami realisasikan dalam bentuk Perda dan anggaran. Tidak omong-omong saja,” katanya dengan tegas. Walaupun APBD 2010 sudah ketuk palu, tapi kata Kariyasa, proses perubahan masih ada kesempatan.

Buat Pararem
Ketua LPA Bali Nyoman Masni dan Ketua WHDI Prov. Bali I.G.A. Sulasmi Rai mengusulkan sebaiknya dibuat pararem masalah gepeng. Salah satu anggota Komisi IV Sudarma mengatakan, ia terlahir di Dusun Munti Gunung, sehingga mengetahui dengan jelas letak persoalan ini. Namun, ia mengaku belum tahu apa yang harus ia perbuat. Ia mengatakan, mungkin saja masalah ini dapat ditangani dengan dibuatkan pararem. Namun, kata Sudarma, ada beberapa kendala karena kondisinya masih carut marut, dan daerahnya masih terisolir. “Masyarakatnya belum bisa ditata. Perlu Perda yang mengatur masalah gepeng ini. Mungkin dapat dimasukkan pemberian sanksi bagi yang memberikan sehingga membuat ketakutan bagi mereka menggepeng ke daerah lain,” kata Sudarma. Salah seorang wakil Divisi Advokasi Yayasan Manikaya Kauci mengatakan sangat mendukung adanya perda perlindungan anak ini, sehingga kasus kekerasan terhadap anak dapat ditekan. Ia berharap 4 anggota DPRD Prov. Bali perempuan diharapkan lebih sensitif terhadap masalah ini.

Menurut penelitian Sita Van Bemmelen, masih banyak anak-anak yang belum mengenyam pendidikan wajib belajar 9 tahun. Ia menilai, kemiskinan bukanlah alasan akar masalah ini. Adanya daya tarik pekerjaan di perkotaan membuat mereka berduyun-duyun datang ke kota. Menangani masalah ini perlu strategi efektif. Mengatasi masalah pendidikan contohnya. Apakah efektif mendirikan SD dan SMP satu atap di daerah terpencil? Harus lakukan penelitian dan menguji dampak positif dan negatifnya. Badan Pusat Statistik segera merancang data kebutuhan pendidikan karena Disdikpora tidak memiliki data tersebut. Ia menilai, penanganan masalah yang ada sekarang seolah masih berjalan pada dekade tahun 80an. Sementara, keadaan sudah berubah jauh. Kebijakan yang ada belum mampu mengakomodir semua masalah tersebut. –ast

Pikir Dua Kali sebelum Cerai
LBH APIK NTB telah menjadi penggagas dan pendorong lahirnya tiga pergub untuk lebih memberi jaminan hak-hak perempuan dan anak. Ketiga Perda ini dimaksudkan untuk dapat meminimalisir, mencegah, dan melindungi hak-hak yang dimiliki tiap anggota keluarga, sekaligus sebagai regulasi terkait tindak perdagangan orang.
Peraturan Gubernur Nomor 28/2009 mengatur mekanisme penyelenggaraan pencegahan, penanganan dan pelayanan pada Pusat Pelayanan Terpadu dan Pendampingan Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan; Pergub Nomor 29/2009 mengatur gugus tugas , susunan organisasi Pusat Pelayanan Terpadu, peranserta masyarakat dan tata cara pengawasan, pencegahan, perdagangan orang. Pergub Nomor 30/2009, tentang pelaksanaan pemotongan gaji untuk nafkah anak dan mantan istri di lingkungan pemprov. NTB. PNS dan Pegawai BUMD di NTB harus berpikir dua kali sebelum cerai. (Koran Tokoh, Edisi 564, hal 10).

Koran Tokoh Edisi 572, 27 Des s.d 2 Januari 2010

Tidak ada komentar: