Selasa, 02 Maret 2010

Bukan Hanya Kekerasan Seksual (Bagian 2)

DATA Polda Bali menyebutkan, tahun 2007 terjadi 40 kasus korban kekerasan seksual. Khusus di wilayah Poltabes Denpasar, 27 kasus. Tahun 2008 terjadi 62 kasus korban kekerasan seksual, di antaranya 32 kasus di wilayah Poltabes Denpasar. Dokter Sri Wahyuni menyatakan jumlah sebenarnya diyakini lebih banyak lagi karena diduga banyak kasus yang tidak dilaporkan atau sengaja dirahasiakan karena dianggap aib oleh korban, keluarga, maupun masyarakat sekitarnya. Yang dimaksud anak dalam UU Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak dalam kandungan. Kekerasan pada anak adalah tindakan yang dilakukan seseorang/individu pada mereka yang belum genap berusia 18 tahun yang menyebabkan kondisi fisik atau mentalnya terganggu.

Bentuk tindak kekerasan terhadap anak meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual, dan ekonomi. Kekerasan fisik (dipukul, dijambak, ditendang, diinjak, dicubit, dicekik, dicakar, dijewer, disetrika, disiram air panas), kekerasan psikis (dihina, dipaksa melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki, dibentak, dimarahi, diancam), kekerasan seksual (diperkosa, disodomi, diraba-raba alat kelaminnya, dipaksa oral sex, dipaksa menjadi pelacur, dipaksa bekerja di warung remang-remang). Kekerasan ekonomi (dipaksa menjadi pemulung, pengamen, pembantu rumah tangga, pengemis).
Dampak tindak kekerasan terhadap anak yang paling dirasakan yakni pengalaman traumatis yang susah dihilangkan, yang berlanjut pada timbulnya permasalahan lain, baik fisik, psikologis maupun sosial. “Mereka cenderung menyalahkan dirinya, menutup, dan menghukum dirinya. Masyarakat cenderung menyalahkan korban, tidak menghiraukan hak privasi korban. Bahkan, media massa tanpa empati memberitakan kasus yang dialami korban secara terbuka,” ujarnya.

Untuk itu, katanya, berbagai upaya pencegahan perlu dilakukan. Pencegahan primer untuk semua orangtua dalam upaya meningkatkan kemampuan pengasuhan dan menjaga agar perlakuan salah tidak terjadi. “Orangtua memberikan perawatan anak dan layanan yang memadai. Kebijakan tempat bekerja yang mendukung, serta pelatihan life skill bagi anak. Pelatihan life skill meliputi penyelesaian konflik tanpa kekerasan, keterampilan menangani stres, membuat keputusan efektif, komunikasi interpersonal secara efektif, tuntunan dan perkembangan anak, termasuk penyalahgunaan narkoba,” paparnya.

Pencegahan sekunder, ditujukan bagi kelompok masyarakat dengan risiko tinggi dalam upaya meningkatkan keterampilan pengasuhan, termasuk pelatihan dan layanan korban untuk menjaga agar perlakuan salah tidak terjadi pada generasi berikutnya. Kegiatan yang dilakukan dengan melakukan kunjungan rumah bagi orangtua yang baru mempunyai anak/tempat tinggal padat untuk melakukan penilaian diri apakah mereka berisiko melakukan kekerasan pada anak di kemudian hari. Pencegahan tersier, layanan terpadu untuk anak yang mengalami korban kekerasan, konseling, pelatihan tata laksana stres. -ast

Koran Tokoh, Edisi 581, 28 Februari s.d 7 Maret 2010

Tidak ada komentar: