Selasa, 02 Maret 2010

Salah Pola Asuh bisa Timbulkan Penyimpangan Seksual

TELAH banyak terungkap kasus penyimpangan seksual, khususnya pedofilia. Yang menggegerkan, Siswanto atau Robot Gedek melakukan sodomi disertai pembunuhan anak di Jakarta dan Jawa Tengah dengan korban 12 anak. Kasus lain, Baekuni alias Babe, diduga melakukan sodomi dan mutilasi pada 8 anak. Juga, pernah terungkap anak-anak di Bali juga banyak menjadi korban pedofil turis asing. Data CASA (committee against sexual abuse) menyebutkan, MM warga Italia melakukan praktik pedofilia pada 14 anak di Buleleng. WSB dan HMR asal Prancis melakukan praktik pedofilia di Karangasem, HPW asal Jerman melakukan pedofilia pada 9 anak di Serangan.

Perilaku penyimpangan seksual disebabkan tiga faktor yakni faktor genetik atau keturunan, faktor kepribadian/kejiwaan, dan faktor lingkungan sosial. Ketiga faktor ini saling berhubungan secara implisit. “Mereka umumnya tidak melewati fase falik dengan baik,” ujar Dokter Spesialis Kejiwaan RS Sanglah dr. Wayan Westra, Sp.KJ.

Ia mengatakan, anak usia 4 tahun akan melewati fase oedipus complex, saat seorang anak laki-laki dapat sangat dekat dengan ibunya atau saat anak perempuan yang sangat dekat dengan ayahnya. Jika pada masa ini berjalan dengan normal, mereka mendapatkan pendidikan yang baik, rasa kasih sayang cukup, dan pengertian dari orangtuanya, mereka dapat tumbuh dengan normal. Jika pola asuh orangtua salah, dan orangtua tidak mengerti kejiwaan anaknya, akan terjadi, anak laki-laki yang sangat dekat dengan ibunya tak jarang mereka sampai mengidolakan ibu kandungnya. Ia akan selalu bertentangan dengan ayahnya, bahkan sampai membenci ayahnya. Begitu juga pada anak perempuan yang sampai membenci ibunya. “Kalau orangtuanya tidak memiliki wawasan luas, mereka akan merespons kemarahan anak dengan kemarahan pula. Akhirnya, perkembangan jiwa anak terganggu,” ujarnya.

Dengan bertambahnya usia, anak laki-laki terus mengidolakan ibunya. Ia akan tumbuh sebagai laki-laki yang bersifat keibuan. Semua sifat perempuan masuk ke dalam jiwanya. Ia cenderung menyukai laki-laki dan menjadi homo. Begitu juga pada anak perempuan, ia akan terlahir menjadi lesbian. “Secara psikoanalisis, penyimpangan seksual terjadi karena faktor psikologis dan pola asuh orangtua yang salah,” jelasnya.

Jenis Penyimpangan
Ia mengungkapkan, banyak jenis penyimpangan seksual, di antaranya homoseksual yakni seseorang menyukai orang lain sesama jenis. Pada laki-laki disebut gay dan pada wanita isebut lesbian/lesbi.
Eshibisionisme, penyimpangan seksual yang senang memperlihatkan alat vital/alat kelamin kepada orang lain. “Penderita penyimpangan seksual ini akan suka dan terangsang jika orang lain takjub, terkejut, dan takut melihat pelaku memamerkan alat kelaminnya,” ujarnya.
Fetishisme, perilaku seks menyimpang yang suka menyalurkan kepuasan seksnya dengan cara onani /masturbasi dengan melihat dan menyimpan benda-benda kecil milik perempuan seperti gaun, bando, anting, celana dalam, BH. Voyeurisme, pelaku penyimpangan seks ini mendapatkan kepuasan seksual setelah mengintip orang lain yang sedang telanjang, atau sedang mandi. Pedofilia, penyimpangan seksual yang dilakukan orang dewasa yang yang suka melakukan hubungan seks/kontak fisik yang merangsang dengan anak di bawah umur. Bestially, perilaku penyimpangan seksual bagi manusia yang suka melakukan hubungan seks dengan binatang seperti kambing, kerbau, sapi, kuda.

Necrofilia, penyimpangan seksual bagi orang yang suka melakukan hubungan seks dengan mayat.
Sodomi, pria yang suka berhubungan seks melalui dubur pasangan seks baik pasangan sesama jenis (homo) maupun dengan pasangan perempuan. “Pedofil lebih menyukai sodomi. Mereka tidak melakukan hubungan seksual sebagaimana mestinya, karena dalam hati ada ketakutan untuk melakukan hubungan seksual dengan orang dewasa karena proses oedipus complex-nya tidak dilewati dengan baik,” paparnya.
Ia mengatakan, pedofil ingin mencurahkan kemampuan superiornya dengan anak-anak kecil usia 12 tahun ke bawah. Selain memiliki penyimpangan seksual karena bergairah dengan anak kecil untuk memuaskan fantasi seksualnya, tak jarang mereka juga memiliki kelainan kepribadian (psikopat) seperti kasus Babe yang melakukan mutilasi kepada 8 anak-anak. “Ketika korban menolak disodomi, ia lalu ingin melampiaskan sakit hatinya dengan melakukan mutilasi,” ungkapnya.
Psikopat secara harfiah berarti sakit jiwa. Pengidapnya juga sering disebut sebagai sosiopat karena perilakunya yang antisosial dan merugikan orang-orang terdekatnya. Psikopat berasal dari kata psyche yang berarti jiwa dan pathos yang berarti penyakit. Psikopat tak sama dengan gila (skizofrenia/psikosis) karena seorang psikopat sadar sepenuhnya atas perbuatannya. Gejalanya sering disebut psikopati, pengidapnya sering disebut orang gila tanpa gangguan mental.

Trauma Masa Kecil
Prof. Suryani dan dr. Tjok Jaya Lesmana, Sp.KJ dalam buku “Pedofil Penghancur Masa Depan Anak” menulis, pedofil menaruh perhatian pada anak dengan menyampaikan keinginan untuk memberi pendidikan yang lebih baik dan memberi pengalaman melihat dunia luar. Pedofil adalah seseorang yang memilih menunjukkan aktivitas seksual kepada anak prapubertas atau awal masa pubertas atau yang berumur kurang dari 13 tahun.
Aktivitas seksual dapat berupa fantasi, keinginan, atau perilaku seksual yang terjadi karena penderitaan atau penghinaan dari seseorang atau pasangan hidupnya. Juga, sering terjadi pada orang-orang yang sewaktu kecil mengalami trauma seksual yang dilakukan pedofil.
Berdasarkan usia anak-anak yang disasar, pedofilia dikelompokkan dalam teleiofilia, orang dewasa yang menyenangi pasangan yang sudah matang secara fisik, infantofilia, orang dewasa yang tertarik dengan anak yang berumur di bawah 5 tahun. Mereka yang aktivitas seksualnya memilih remaja pubertas atau anak di bawah umur (13-16 tahun) diklasifikasikan hebofil (tertarik terhadap perempuan) atau efebofilia (tertarik pada laki-laki).

Cara pelaku pedofilia melampiaskan dorongan seksualnya pada anak-anak beraneka ragam di antaranya memamerkan diri mereka pada anak-anak, menanggalkan pakaian anak-anak, memerhatikan anak-anak yang tanpa busana sambil melakukan masturbasi tanpa diketahui korban atau masturbasi di depan anak-anak dengan meraba genitalia korban.
Pedofil perempuan cenderung memiliki usia lebih muda, 22-23 tahun. Biasanya mereka dimasukkan dalam kriteria gangguan psiatri khususnya depresi atau gangguan kepribadian.
Pedofil mengalami masa kecil dengan kekerasan, isolasi, atau penghinaan. Setelah dewasa menjadikan dirinya sebagai orang yang menyenangi kekerasan.
Prof. Suryani menulis, trauma akibat kekerasan seksual yang dialami waktu kanak-kanak, dapat juga menimbulkan gangguan panik setelah ia dewasa. Sering kali mereka ketakutan berada sendirian atau di tempat umum.

Gangguan stres pascatrauma, gejalanya, bayangan kejadian traumatik terulang kembali, mudah marah, sulit tidur, dan tegang. Jika anak mengalami kekerasan seksual dan tidak mampu mengatasi penderitaannya, kemungkinan anak itu depresi seperti kosentrasi berkurang, kepercayaan dirinya berkurang, merasa masa depan suram, pesimis, nafsu makan berkurang.
Penderitaan yang dialami anak-anak yang sukar dipahaminya, dapat menyebabkan gangguan jiwa berat berupa gangguan psikosis (gila). Ia sering mengamuk, menjerit, curiga, menarik diri dari pergaulan, alami ketidakmampuan dalam bekerja yang biasa dilakukan.

Rawan HIV/AIDS
Berdasarkan penelitian, kata Dokter Westra, setelah korban dewasa, ada kecenderungan seolah-olah dia ingin meneruskan kenikmatan yang pernah dirasakan. “Dulu dia menjadi korban kini dia menjadi pelaku, apakah dengan maksud balas dendam atau menikmati kedaan itu dan ingin mempraktikkannya,” ujarnya. Jika pelaku sodomi orang yang mengidap virus HIV/AIDS besar kemungkinan korban pedofil akan tertular karena sodomi dapat merusak jaringan anus anak. “Virus masuk lewat aliran darah karena rusaknya jaringan anus,” katanya. –ast

Tidak ada komentar: