ADA sementara politisi dan pengamat yang pandangannya terkesan kurang berbobot, dan jurnalis yang karya jurnalistiknya kering, akibat miskinnya data dan dokumentasi. Dalam era otonomi daerah sekarang ini, pengelolaan data dan dokumentasi ini juga perlu mendapat perhatian serius pejabat humas. Hal itu diungkapkan Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Koran Tokoh Widminarko di depan 30 peserta Pelatihan Kepemimpinan dan Advokasi bagi Perempuan di Inna Bali Hotel, Denpasar, Minggu (25/7).
Ia menyatakan, politisi dan pengamat memiliki karakteristik sama dengan jurnalis, yakni keharusannya dekat dengan publik, dan walaupun memiliki spesialisasi bidang yang ditekuni, tetap tidak bisa abaikan statusnya sebagai generalis dengan mendalami ilmu-ilmu penunjangnya. Untuk mengetahui dan mengikuti opini yang bekembang dan mampu menganalisisnya, Widminarko mengungkapkan kiat suksesnya, mereka harus gemar membaca, mendengar, dan memirsa media massa, serta rajin mencatat dan mendokumentasikan opini yang berkembang dan dikembangkan media massa. Dalam pelatihan yang diselenggarakan International Republican Institute (IRI) bekerja sama dengan LSM Bali Sruti itu, dalam membawakan topik “Mengelola Isu Media” Widminarko menyatakan bagaimana mungkin bisa mengelola isu media, jika orang tidak gemar membaca, mendengar, dan memirsa media massa.
Mungkin hal itu sudah dilakukan, tetapi mereka tidak rajin mencatat dan medokumentasikan informasi yang didapat. Akhirnya pandangannya kurang berbobot, kering, bahkan terkesan mengulang-ulang wacana yang sebenarnya sudah pernah terlontar ke masyarakat, hanya karena tidak ditunjang data yang aktual dan akurat.
Selain mengelola isu, politisi juga harus mampu menciptakan isu yang akan mereka tawarkan ke masyarakat. Widminarko menyarankan, isu yang dipilih memiliki kedekatan dengan kondisi, kebutuhan, dan problem masyarakat di lingkungan atau daerahnya. Oleh karena itu, demikian kiat sukses Widminarko berikutnya, tiap politisi dan pengamat harus memiliki kepedulian tinggi terhadap lingkungannya. Sesudah itu laksanakan program aksi antara lain menguji isu tersebut lewat forum diskusi dengan mengundang pakar terkait. “Dalam penyelenggaraan diskusi libatkan media massa atau penulis, agar perbincangan dalam forum diskusi tidak hanya bergema di dalam ruangan, tetapi mampu tersosialisasikan dan mengundang umpan balik masyarakat seluas-luasnya,” pesannya. Persoalannya, tambahnya, apakah pemberitaan di media massa itu dibaca, didengar, dipirsa pejabat pemerintah dan pihak terkait lainnya, untuk dijadikan masukan, ditindaklanjuti, dan dijadikan dasar mengambil kebijakan? Dalam kaitan ini Widminarko memandang pentingnya peran humas.
Di depan peserta Pelatihan dari kalangan politisi, LSM, dan jurnalis itu, Widminarko menyebut nama seorang pejabat humas yang rajin mengkliping tulisan opini yang berkembang di koran, termasuk di kolom Surat Pembaca, kemudian mendistribusikan kliping itu kepada pejabat terkait untuk ditindaklanjuti atau dijadikan dasar penetapan kebijakan. Humas yang dipimpinnya itu juga selalu dengan cepat dapat melayani permintaan data atau informasi yang diperlukan wartawan. “Sekarang ini yang sering memerlukan data dan informasi bukan hanya wartawan, tetapi juga politisi dan pengamat. Teknologi pun makin canggih, mestinya pengelolaan data dan dokumentasi juga makin rapi,” ujarnya. Ia menyatakan, banyak politisi dan pengamat yang populer namanya juga berkat seringnya tampil di media massa dengan pandangannya yang segar, visioner, dan berani. Namun, katanya, hanya pandangan politisi dan pengamat yang memiliki nilai berita atau layak diberitakan, yang dapat dipublikasikan media massa. “Pandangan yang tidak bermutu tentu sulit lolos dalam publikasi media massa,” katanya.
Selain memanfaatkan opini yang berkembang dan dikembangkan media massa, politisi dan pengamat juga berkesempatan memanfaatkan media massa sebagai sarana untuk menyalurkan opini pribadi atau kelompoknya. Syarat pertama, kata Widminarko, mereka harus dapat menulis. Jika tidak mampu menulis, masih ada kesempatan lain, menjadi narasumber yang selalu siap diwawancarai dan siap berbicara di depan forum diskusi. Wawancara bukan hanya atas inisitif wartawan atau media massa, juga bisa atas inisiatif narasumber. Ada kesempatan lain yakni dengan jalan mengukir prestasi, sehingga sosoknya menjadi idola masyarakat atau public figure yang menarik untuk ditampilkan di media massa. “Inilah kiat sukses berikutnya, agar mampu berprestasi, politisi dan pengamat harus selalu memiliki inisiatif, bersikap kreatif, dan kalau mungkin berbuat inovatif,” ujarnya. Kiat terakhir yang dikemukakannya adalah pentingnya politisi, pengamat, dan jurnalis membangun jaringan publik antara lain lewat kegiatan organisasi. “Komunikasi bukan hanya dilakukan menggunakan sarana media massa, tetapi juga kelompok dan antarpribadi secara sinergis,” ujarnya.
Bukan sekadar Kartu Nama
Sementara itu, pakar komunikasi dari Unud Dr. Ni Wayan Sri Suprapti menegaskan, untuk menjadi orang sukses, kita perlu memunyai jaringan. Bagi politisi memiliki jaringan yang kuat merupakan keharusan mutlak.
“Jaringan diperlukan untuk membangun persahabatan dan komunitas untuk mencapai tujuan pribadi, keluarga, atau kelompok tertentu. Jaringan bukan sekadar kumpulan daftar relasi. Membangun jaringan lebih merupakan seni. Ibarat membangun taman, bagaimana desainnya, gradasinya, tata letak, jenis tanaman yang akan ditata. Kemudian bagaimana merawat tanaman agar menjadi subur,” paparnya.
Kita memiliki teman sejak kecil atau sejak di SD tetapi apakah teman kita masih utuh sampai sekarang? Masihkah kita menjaga kontak dengan mereka? Apakah jaringan yang kita miliki sekarang bertambah banyak atau makin sedikit?
Ia menegaskan, membangun jaringan perlu sarana yakni komunikasi dua arah dan perlu strategi. Kenali siapa audiens sasaran kita, bergabunglah dalam berbagai kegiatan atau organisasi sosial, selalu menjalin komunikasi, tunjukkan sikap positif, buat mereka senang, tunjukkan kualitas diri, dan bersabar. “Kualitas dalam komunikasi berarti adanya keterbukaan dan saling mendukung, sikap menghargai orang lain, jujur, memahami perasaan dan dapat dimengerti orang lain, bersikap positif dan rendah hati,” jelasnya.
Bahas topik yang sesuai dengan latar belakang audiens. Tidak menanyakan hal pribadi, dan dalam berkomunikasi belajarlah menyetujui pendapat orang lain. Ketika berkomunikasi, kita perlu menahan diri untuk tidak berdebat melainkan berdiskusi. Jangan lupa, belajarlah mendengar. Tidak boleh kaku, harus luwes sehingga komunikasi berhasil.
Suprapti memberikan tips bagaimana merawat jaringan: Jalin persahabatan tanpa membedakan latar belakang, sapa dengan senyum dan ketulusan, buat identitas dan simpan identitas relasi. “Jaringan tidak hanya ditentukan seberapa banyak kartu nama relasi yang Anda simpan, tetapi seberapa besar kita saling menjaga kontak dan melakukan komunikasi,” ujarnya.
Untuk lebih memahami bagaimana merawat jaringan, peserta diajak melakukan permainan holy hop. Tiap kelompok membuat lingkaran dengan bergandengan tangan. Ikatan tidak boleh terputus, saat mereka bermain. Lingkaran makin mengecil, mereka makin mendekat, ikatan makin kuat, dan holy hop tidak boleh menyentuh tanah. Ketiga kelompok peserta Pelatihan berhasil melakukan permainan dengan baik. Artinya, peserta mampu memahami dalam merawat jaringan diperlukan suatu strategi, kebersamaan, koordinasi, kesabaran, dan mengendalikan emosi. –ast
Ia menyatakan, politisi dan pengamat memiliki karakteristik sama dengan jurnalis, yakni keharusannya dekat dengan publik, dan walaupun memiliki spesialisasi bidang yang ditekuni, tetap tidak bisa abaikan statusnya sebagai generalis dengan mendalami ilmu-ilmu penunjangnya. Untuk mengetahui dan mengikuti opini yang bekembang dan mampu menganalisisnya, Widminarko mengungkapkan kiat suksesnya, mereka harus gemar membaca, mendengar, dan memirsa media massa, serta rajin mencatat dan mendokumentasikan opini yang berkembang dan dikembangkan media massa. Dalam pelatihan yang diselenggarakan International Republican Institute (IRI) bekerja sama dengan LSM Bali Sruti itu, dalam membawakan topik “Mengelola Isu Media” Widminarko menyatakan bagaimana mungkin bisa mengelola isu media, jika orang tidak gemar membaca, mendengar, dan memirsa media massa.
Mungkin hal itu sudah dilakukan, tetapi mereka tidak rajin mencatat dan medokumentasikan informasi yang didapat. Akhirnya pandangannya kurang berbobot, kering, bahkan terkesan mengulang-ulang wacana yang sebenarnya sudah pernah terlontar ke masyarakat, hanya karena tidak ditunjang data yang aktual dan akurat.
Selain mengelola isu, politisi juga harus mampu menciptakan isu yang akan mereka tawarkan ke masyarakat. Widminarko menyarankan, isu yang dipilih memiliki kedekatan dengan kondisi, kebutuhan, dan problem masyarakat di lingkungan atau daerahnya. Oleh karena itu, demikian kiat sukses Widminarko berikutnya, tiap politisi dan pengamat harus memiliki kepedulian tinggi terhadap lingkungannya. Sesudah itu laksanakan program aksi antara lain menguji isu tersebut lewat forum diskusi dengan mengundang pakar terkait. “Dalam penyelenggaraan diskusi libatkan media massa atau penulis, agar perbincangan dalam forum diskusi tidak hanya bergema di dalam ruangan, tetapi mampu tersosialisasikan dan mengundang umpan balik masyarakat seluas-luasnya,” pesannya. Persoalannya, tambahnya, apakah pemberitaan di media massa itu dibaca, didengar, dipirsa pejabat pemerintah dan pihak terkait lainnya, untuk dijadikan masukan, ditindaklanjuti, dan dijadikan dasar mengambil kebijakan? Dalam kaitan ini Widminarko memandang pentingnya peran humas.
Di depan peserta Pelatihan dari kalangan politisi, LSM, dan jurnalis itu, Widminarko menyebut nama seorang pejabat humas yang rajin mengkliping tulisan opini yang berkembang di koran, termasuk di kolom Surat Pembaca, kemudian mendistribusikan kliping itu kepada pejabat terkait untuk ditindaklanjuti atau dijadikan dasar penetapan kebijakan. Humas yang dipimpinnya itu juga selalu dengan cepat dapat melayani permintaan data atau informasi yang diperlukan wartawan. “Sekarang ini yang sering memerlukan data dan informasi bukan hanya wartawan, tetapi juga politisi dan pengamat. Teknologi pun makin canggih, mestinya pengelolaan data dan dokumentasi juga makin rapi,” ujarnya. Ia menyatakan, banyak politisi dan pengamat yang populer namanya juga berkat seringnya tampil di media massa dengan pandangannya yang segar, visioner, dan berani. Namun, katanya, hanya pandangan politisi dan pengamat yang memiliki nilai berita atau layak diberitakan, yang dapat dipublikasikan media massa. “Pandangan yang tidak bermutu tentu sulit lolos dalam publikasi media massa,” katanya.
Selain memanfaatkan opini yang berkembang dan dikembangkan media massa, politisi dan pengamat juga berkesempatan memanfaatkan media massa sebagai sarana untuk menyalurkan opini pribadi atau kelompoknya. Syarat pertama, kata Widminarko, mereka harus dapat menulis. Jika tidak mampu menulis, masih ada kesempatan lain, menjadi narasumber yang selalu siap diwawancarai dan siap berbicara di depan forum diskusi. Wawancara bukan hanya atas inisitif wartawan atau media massa, juga bisa atas inisiatif narasumber. Ada kesempatan lain yakni dengan jalan mengukir prestasi, sehingga sosoknya menjadi idola masyarakat atau public figure yang menarik untuk ditampilkan di media massa. “Inilah kiat sukses berikutnya, agar mampu berprestasi, politisi dan pengamat harus selalu memiliki inisiatif, bersikap kreatif, dan kalau mungkin berbuat inovatif,” ujarnya. Kiat terakhir yang dikemukakannya adalah pentingnya politisi, pengamat, dan jurnalis membangun jaringan publik antara lain lewat kegiatan organisasi. “Komunikasi bukan hanya dilakukan menggunakan sarana media massa, tetapi juga kelompok dan antarpribadi secara sinergis,” ujarnya.
Bukan sekadar Kartu Nama
Sementara itu, pakar komunikasi dari Unud Dr. Ni Wayan Sri Suprapti menegaskan, untuk menjadi orang sukses, kita perlu memunyai jaringan. Bagi politisi memiliki jaringan yang kuat merupakan keharusan mutlak.
“Jaringan diperlukan untuk membangun persahabatan dan komunitas untuk mencapai tujuan pribadi, keluarga, atau kelompok tertentu. Jaringan bukan sekadar kumpulan daftar relasi. Membangun jaringan lebih merupakan seni. Ibarat membangun taman, bagaimana desainnya, gradasinya, tata letak, jenis tanaman yang akan ditata. Kemudian bagaimana merawat tanaman agar menjadi subur,” paparnya.
Kita memiliki teman sejak kecil atau sejak di SD tetapi apakah teman kita masih utuh sampai sekarang? Masihkah kita menjaga kontak dengan mereka? Apakah jaringan yang kita miliki sekarang bertambah banyak atau makin sedikit?
Ia menegaskan, membangun jaringan perlu sarana yakni komunikasi dua arah dan perlu strategi. Kenali siapa audiens sasaran kita, bergabunglah dalam berbagai kegiatan atau organisasi sosial, selalu menjalin komunikasi, tunjukkan sikap positif, buat mereka senang, tunjukkan kualitas diri, dan bersabar. “Kualitas dalam komunikasi berarti adanya keterbukaan dan saling mendukung, sikap menghargai orang lain, jujur, memahami perasaan dan dapat dimengerti orang lain, bersikap positif dan rendah hati,” jelasnya.
Bahas topik yang sesuai dengan latar belakang audiens. Tidak menanyakan hal pribadi, dan dalam berkomunikasi belajarlah menyetujui pendapat orang lain. Ketika berkomunikasi, kita perlu menahan diri untuk tidak berdebat melainkan berdiskusi. Jangan lupa, belajarlah mendengar. Tidak boleh kaku, harus luwes sehingga komunikasi berhasil.
Suprapti memberikan tips bagaimana merawat jaringan: Jalin persahabatan tanpa membedakan latar belakang, sapa dengan senyum dan ketulusan, buat identitas dan simpan identitas relasi. “Jaringan tidak hanya ditentukan seberapa banyak kartu nama relasi yang Anda simpan, tetapi seberapa besar kita saling menjaga kontak dan melakukan komunikasi,” ujarnya.
Untuk lebih memahami bagaimana merawat jaringan, peserta diajak melakukan permainan holy hop. Tiap kelompok membuat lingkaran dengan bergandengan tangan. Ikatan tidak boleh terputus, saat mereka bermain. Lingkaran makin mengecil, mereka makin mendekat, ikatan makin kuat, dan holy hop tidak boleh menyentuh tanah. Ketiga kelompok peserta Pelatihan berhasil melakukan permainan dengan baik. Artinya, peserta mampu memahami dalam merawat jaringan diperlukan suatu strategi, kebersamaan, koordinasi, kesabaran, dan mengendalikan emosi. –ast