Minggu, 11 Juli 2010

Wayan Sutawa Pembaca Lontar Termuda

Tiap Hari Baca Kamus Bahasa kawi. BELAJAR aksara Bali mulai tidak menarik perhatian bagi sebagian besar orang Bali. Aksara Bali diidentikkan orang tua, karenanya tak banyak remaja yang tertarik untuk mempelajarinya. Namun, pandangan semacam ini tak berlaku bagi Wayan Sutawa, siswa kelas 2 SMPN 8 Denpasar. Kemampuannya menulis dan membaca aksara Bali telah menorehkan banyak prestasi. Museum Rekor Indonesia (Muri) telah mengukuhkannya sebagai pembaca lontar termuda Agustus 2009. Putra pasutri I Made Degung dan Ni Ketut Sutarmi ini sangat antuasias mempelajari lontar. Bahkan, tak tanggung-tanggung, ia mengoleksi ratusan lontar dan buku aksara Bali di rumahnya di Karangasem. Lontar menjadi bacaan rutinnya tiap hari di kala sengang.

Saat ini, Sutawa bertempat tinggal di Denpasar bersama kerabatnya. Beberapa lontar dibawanya sebagai bahan bacaan di pondoknya di kawasan penjual tanaman hias Jalan Hayam Wuruk Denpasar. Saat wartawati Koran Tokoh berkunjung, Sutawa sedang menulis bait-bait pupuh. Ia langsung memperdengarkan kepiawaiannya mewirama dari hasil karyanya sendiri. Ketika, ditanya apa artinya, I Gede Merta, kerabatnya yang juga kepala keluarga di pondok itu, menerangkan makna bait-bait pupuh sinom yang dinyanyikan Sutawa. “Lebih banyak berisi nasihat orangtua kepada anaknya,” kata I Gede Merta yang juga seniman bonsai ini. Sutawa sudah menciptakan lima syair pupuh sinom. Suatu saat, kata Gede Merta, ia ingin membukukannya.

Sutawa tergolong anak multitalenta. Selain di sekolah termasuk peringkat 10 besar, ia menguasai berbagai macam cabang kesenian yakni tari, lukis, pahat, dalang, mawirama, dan nyurat lontar. Sutawa memang keturunan pembaca lontar. Bapak dan ibunya jago menyurat lontar. Oleh karena itu, sejak kecil, kegiatan Sutawa sudah bersentuhan dengan lontar. Setelah mengenal bentuknya, membuka-buka, kemudian tertarik untuk melihat tulisannya dan akhirnya ia tertantang untuk melatih kemampuanya menulis dan membaca lontar. Saat berusia 5 tahun, ia sering bermain di dekat ibunya yang sedang menyurat lontar. Sutawa sering melontarkan pertanyaan kreatif, “ini huruf apa, ini artinya apa?” Lama-kelamaan, ia mengerti apa yang ditekuni ibunya. Berawal dari mengenal 18 huruf, mulai dari a, na, ca, ra, ka, kini Sutawa sudah membaca puluhan lontar, isi lontar berupa nyanyian maupun yang berisi ilmu pengetahuan, termasuk usadha. “Lontar usadha baru belajar sedikit. Lebih banyak lontar ilmu pengetahuan,” ujarnya.

Lontar menggunakan bahasa Kawi. Untuk menerjemahkannya, Sutawa tiap hari rajin membaca kamus bahasa Kawi. Pengalamannya membaca lontar diasahnya dengan mengikuti perlombaan saat duduk di kelas II SD No 2 Sibetan, Karangasem. Walaupun lawannya anak-anak SD yang lebih besar, Sutawa berhasil mengalahkan mereka. “Saya tidak menduga bisa menang,” ujar bocah yang bercita-cita ingin menjadi seniman serba bisa ini.
Untuk mendapatkan rekor Muri, bukanlah hal yang mudah bagi Sutawa. Ia mendapat tiga kali tes untuk membuktikan kepiawaiannya dalam membaca lontar. Pengetesan dilakukan dengan pengambilan bait secara acak. Juara I Siswa Ajeg Bali ini mampu melewati semua tes itu dengan penuh percaya diri. I Gede Merta yang ikut menemani saat tes Muri itu menuturkan, pengecekan dilakukan sekitar dua jam. Keluarga besar Sutawa turut bersyukur atas prestasi yang diraih remaja usia 15 tahun ini, saat ia dinobatkan Muri sebagai Pembaca Lontar Termuda.

Dalang Cilik
Bukan hanya piawai membaca lontar, Sutawa juga mendapat julukan ‘dalang cilik’. Saat usianya 5 tahun, ia sering membuat wayang dari daun kamboja. Ia sering mendalang dengan wayang daun buatannya. Dengan mengambil lakon Mahabharata dan Ramayana, Sutawa terus belajar mendalang sambil belajar menulis lontar. Predikat ‘Juara I Dalang Cilik se-Bali’, sudah diraihnya. Saat Parade Dalang dalam Pesta Kesenian Bali Tahun 2006, ia diberi kesempatan pentas di Taman Budaya Denpasar. Ada dua dalang cilik yang tampil. Sebelum Sutawa tampil, penonton memadati areal pementasan dalang cilik satunya. Namun, ketika Sutawa sudah beraksi, seketika penonton menyerbu tempat pentasnya. Bahasa Sutawa memang komunikatif dan lakonnya yang menarik membuat penonton betah untuk menonton wayang yang dimainkannya.
Sutawa sudah pernah pentas mendalang di beberapa wilayah di Bali. “Kata orang saya punya ciri khas,” ujarnya berseloroh. Sutawa sering diundang untuk mendalang saat upacara piodalan, atau mendalang untuk hiburan pada malam hari. Paling malam, ia mendalang sampai pukul 23.00. “Yang sering tampil dalam upacara adat, saat sulinggih mapuja dari pagi sampai siang,” kata remaja yang menyukai pelajaran Matematika dan IPA ini. -ast

Koran Tokoh, Edisi 600, 11 s.d 17 Juli 2010

1 komentar:

Yudi Darmawan mengatakan...

perlu lebih banyak lagi anak muda seperti itu,
tidak menganggap warisan budaya kuno,
terima kasih beritanya..