Minggu, 03 Februari 2008

Mengutamakan Semangat Manyama Braya

HUBUNGAN baik antara masyarakat Bali dan warga Tionghoa terjalin sejak lama. Pembauran bisa dilihat dari berbagai segi seperti tempat pemujaan, kesenian, adat istiadat, arsitektur, maupun alat pertanian. Demikian diungkapkan Budayawan Tionghoa Wirya Subrata.

Lelaki usia 67 tahun ini mengatakan berdasarkan lontar diperkirakan warga Tionghoa sudah ada sejak tahun 616. Karena terjadi perang dan bencana alam, warga Tionghoa mencari kehidupan dunia luar. “Mereka mulai menyeberang ke Vietnam, Malaka akhirnya tiba di Indonesia. Sebagai warga Tionghoa mereka memiliki sifat dasar ulet, tahan banting, rajin bekerja, punya toleransi dan tidak punya sifat menjajah. Karena sifat itu, masyarakat Bali mudah menerima mereka,” ujar Wirya.

Pembauran budaya Tionghoa dengan budaya Bali ini kata dia, tertulis dalam beberapa lontar yang mengisahkan hubungan yang baik terjalin sejak dulu.
Dalam babad Dalem Balingkang diceritakan seorang saudagar yang bermarga Kang dan putrinya Kang Cin Wie pergi berlayar ke Asia Tenggara untuk berdagang.
Namun, badai menerjang kapal mereka akhirnya ia bersama putrinya terdampar di Bali.

Saat itu tahun 1177 berkuasa Raja Sri Jaya Pangus yang terpesona dengan kecantikan Putri Kang Cin Wie dan kemudian mempersuntingnya.
“Sebagai syaratnya, Kang Cin Wie meminta Raja Sri Jaya Pangus memotong gigi taringnya hingga rata dengan tujuan menghilangkan semua sifat buruknya dan penggunaan pis bolong untuk upacara,” ujar Wirya.

Setelah menikah banyak masalah yang terjadi lantaran banyak orang tidak merestui pernikahan itu. Karena terjadi badai, Raja Sri Jaya Pangus dan Kang Cin Wie melarikan diri membuat istana baru di Balingkang yang artinya Bali dengan marga Kang. Mereka hidup berbahagia sampai akhir hayatnya.
“Masyarakat Bali mengenang mereka dengan simbul barong landung yang selalu berdampingan yakni seorang raja berwajah hitam dan putri warga Tionghoa berwajah cantik dan keibuan,” katanya.

Ia menilai kisah cinta Raja Sri Jaya Pangus dengan Kang Cing Wie telah membuktikan bahwa keluhuran budi dan ketulusan cinta sanggup mengatasi semua perbedaan.

Menurut Wirya kisah lain yang menceritakan pembauran budaya Tionghoa dengan budaya Bali terlihat dari keberadaan tempat pemujaan Ratu Gede Ngurah Subandar di Pura Batur. Ia memperkirakan, saat itu antara tahun 1405-1433, armada Cheng He dari kerajaan Ming datang ke Asia Tenggara dan sampai di Bali.
Cong Pho Kong, kepala rumah tangga di armada Cheng He ini diterima raja Bali saat itu dengan baik.

Dengan kemampuan di bidang ketatanegaraan, bea cukai, logistik, dan pertahanan, ia dipercaya menjadi panasihat raja.
Dalam bidang militer ia mengajarkan cara berperang yang baik mapun siasat ampuh. Hal ini bisa dilihat sekarang dengan adanya tarian baris Cina, dan baris tumbak. Atas keberhasilannya dalam ilmu ketatanegaraan, kerajaan menjadi makmur dan sejahtera.

Atas jasanya itu dibangunlah tempat pemujaan terhadap Cong Pho Kong yang kemudian bergelar Ratu Gede Ngurah Subandar di areal Pura Batur, Kintamani. Sampai kini masyarakat menyakini pemujaan terhadap Ratu Gede Ngurah Subandar di Pura Batur mendatangkan rezeki dan kemakmuran.

Pembauran Tionghoa dan Bali juga bisa dilihat dari nama tempat seperti
Desa Songan yang berasal dari kata Siongan artinya selalu aman. Desa Langgan dari kata Lam An artinya selatan yang aman.
“Banyak warga Tionghoa di Bali memakai nama Bali seperti I Putu, I Made, ataupun I Nyoman. Beberapa daerah di Bali banyak dihuni warga Tionghoa seperti Desa Kembang Sari, dan Penginyam, di Buleleng dan Desa Langgan, dan Lampu di Kintamani.

Kesamaan lain bisa dilihat dari masing-masing rumah warga Tionghoa terdapat pemujaan Jero Gede, padmasana dan saat pemujaan di klenteng memakai sarana canang.
Pembauran masyarakat Tionghoa dengan warga Bali juga menyangkut alat pertanian maupun arsitektur bangunan seperti ukiran patra Cina.
Dalam bidang pengobatan tradisional sama-sama menggunakan sarana tumbuh-tumbuhan, dan pemijatan.

Dalam upacara ngaben, masyarakat Bali menggunakan bade, sementara warga Tionghoa membuat rumah cho kong tik saat ada keluarga meninggal.
Tujuannya untuk penghormatan pada leluhur, yang kemudian juga dibakar.

Kisah lain yang dituturkan Wirya, berdirinya Klenteng di Pelabuhan Benoa.
Ada seorang wanita cantik yang pandai berenang yang bernama Ma Co. Jika ada nelayan yang mendapat masalah di laut, ia dengan senang hati menolong Sampai akhirnya ia meninggal di usia 27 tahun.
“Walau sudah meninggal, nelayan yang melaut kerap melihat bayangan Ma Co di lautan. Jika mereka menemui bahaya selalu menyebut nama Ma Co agar terlindung dari mara bahaya,” jelas Wirya.
Untuk mengenang jasanya kata dia, dibangunlah sebuah klenteng di dekat Pelabuhan Benoa.

Wirya menilai warga Tionghoa selalu mengutamakan semangat menyama braya dengan orang Bali. Pembauran budaya Tionghoa dengan budaya Bali yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat setempat, kata dia, dapat memperkokoh serta memperkuat kehidupan seni budaya Bali yang diwarisi secara turun temurun. -ast

Sudah dimuat di Koran Tokoh Edisi 474, 3-9 Februari 2008

1 komentar:

obat kuat mengatakan...

obat kuat paling berkhasiat , dapat mengatasi impotensi dan meningkatkan gairah, multi orgasme