Selasa, 30 November 2010

Jangan Remehkan Nasi Sela

BANYAK orang memandang remeh ubi jalar merah. Padahal, ubi yang satu ini mengandung beragam zat gizi yang sangat baik bagi tubuh. Masyarakat Bali memiliki makanan tradisional nasi sela. Apakah kandungan gizi nasi sela mampu memberi kontribusi optimal bagi tubuh?

”Selain untuk memenuhi unsur gizi dalam tubuh, makanan yang dikonsumsi sehari-hari hendaknya beragam agar tidak menimbulkan kebosanan. Dengan beragamnya makanan, beragam pula zat gizi yang dikonsumsi, karena tidak ada satu pun makanan yang mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan manusia,” ujar Ahli gizi Poltekes Denpasar Ida Ayu Eka Padmiari, S.K.M., M.Kes.
Ia menyarankan, untuk mengonsumsi ragam bahan makanan perlu dilakukan pencampuran makanan atau biasa disebut makanan campuran, misalnya beras dengan ubi jalar atau nasi sela, beras dengan jagung, beras dengan kacang kedelai. Campuran bahan ini, kata Dayu Padmiari, akan memaksimalkan zat gizinya dan akan melengkapi zat gizi yang dibutuhkan.

Makanan campuran yang merupakan makanan tradisional Bali khususnya dan di Asia umumnya adalah campuran beras dengan ubi jalar yang sangat khas yang disebut nasi sela. Bahan pangan pokok yang selalu dimakan orang Indonesia umumnya tiap hari adalah nasi. Namun, sebenarnya masih banyak bahan makanan lain yang memiliki kandungan gizi tidak kalah daripada nasi. Jadi, makan besar tidak harus dengan nasi, masih banyak bahan makanan lainnya.

Ia mengatakan, masyarakat Indonesia sudah tergantung pada nasi dan menganggap kalau belum makan nasi berarti belum makan. Sumber karbohidrat lain seperti roti, ubi, mi, bihun, kentang, jagung, umbi, talas, singkong, termasuk makaroni, spageti, dan aneka pasta yang kini makin populer itu masih dianggap sekadar bahan pangan selingan atau pengganjal lapar sebelum makan nasi. Padahal, fungsinya tetap bisa digunakan sebagai makanan pokok. Persepsi masyarakat yang mengatakan makanan yang membuat kenyang dan cocok di lidah itu hanya nasi putih harus diluruskan. Ia mengharapkan para orangtua dapat menyosialisasikan keanegaragaman bahan pangan pokok tersebut kepada anak-anak, mengingat pembentukan selera dan kebiasaan makan dimulai sejak balita.

Mencermati fenomena global di bidang pangan, kata dia, budaya mengonsumsi jenis makanan impor perlu diperbaiki melalui berbagai kampanye dan promosi. Jepang sebagai negara besar dan maju pun sudah mulai berpikir untuk mengubah pola konsumsi pangannya, dengan tidak menggantungkan pangan impor ke arah konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal. Indonesia sebagai negara berkembang dengan penduduk yang banyak harus mulai melakukan diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal. Banyak orang memandang remeh ubi jalar merah. Padahal, kata dia, ubi yang satu ini mengandung beragam zat gizi yang sangat dibutuhkan tubuh.

Sumber utama karbohidratnya baik untuk penderita diabetes karena kandungan gulanya sederhana. Ubi jalar merah juga sangat kaya pro vitamin A atau retinol. Dalam 100 gram ubi jalar merah terkandung 2310 mcg (setara dengan satu tablet vitamin A). Bahkan dibandingkan bayam dan kangkung, kandungan vitamin A ubi jalar merah setingkat lebih tinggi. Keistimewaan ubi ini juga terletak pada kandungan seratnya yang sangat tinggi. Ubi jalar bagus untuk mencegah kanker saluran pencernaan dan mengikat zat karsinogen penyebab kanker di dalam tubuh.

Di Jepang, harga tepung ubi jalar dihargai empat kali lipat harga tepung terigu. Penelitian mengenai ubi jalar pun makin sering, karena memunyai kandungan gizi yang bermanfaat bagi kesehatan. Ubi jalar bahkan dapat dijadikan sebagai bahan makanan alternatif lain bagi pasien penyakit tertentu di rumah sakit. Tepung ubi jalar lebih mahal daripada tepung gandum (terigu). Untuk mendapatkan manfaat fisik dan emosional, ia menganjurkan, ada baiknya dicoba membuat roti menggunakan tepung ubi jalar, baik sebagai bahan utama maupun bahan pewarna. “Pencampuran dua bahan makanan, beras dan ubi jalar, saling melengkapi zat gizi seperti tiamin yang tidak terdapat di ubi jalar akan dilengkapi tiamin yang terdapat dalam beras, dan sebaliknya antioksidan dan vitamin A yang tinggi di ubi jalar akan melengkapi kekurangan zat tersebut dalam beras,” paparnya.
Ia menambahkan, jika digabungkan kedua bahan tersebut, kita sudah memperoleh hampir 10 jenis mineral di antaranya kalsium, fosfor, Fe/zat besi, kalium, magnesium, dan seng. Begitu pula dengan kandungan protein terutama asam-asam amino esensial yang akan diperoleh lengkap dengan pencampuran berbagai bahan tersebut, contohnya nasi sela ditambah ikan, atau nasi sela ditambah tempe/tahu. –ast


Sosialisasikan Diversifikasi Pangan, Lewat Kelompok Wanita Tani
DIVERSIFIKASI pangan bukan diartikan sebagai tidak makan nasi, namun, bagaimana kebutuhan karbohidrat sebagai gizi keluarga juga dipenuhi dari sumber karbohidrat lain selain beras. Demikian diungkapkan Kadis Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali Ir. Made Putra Suryawan.

Kabohidrat dari beberapa sumber seperti beras, jagung, umbi-umbian lokal terdapat di sekitar kita. Selain harganya relatif lebih murah umbi-umbian juga merupakan pelengkap gizi. Ia menegaskan, tujuan diversifikasi menu sejak dini, di samping meningkatkan kesehatan dan melengkapi kebutuhan gizi, juga untuk ketahanan pangan.
Di Bali saat ini, kata dia, usaha sedang digiatkan dalam upaya pengembangan ubi kayu sebagai komoditas andalan, seperti ubi jalar, talas kuning, dan sukun. Sosialisasi diversifikasi pangan telah dilakukan lewat pembinaan kelompok wanita tani melalui unit pembinaan pengembangan pengolahan hasil pertanian (UP3HP). “Para kelompok wanita tani diajari bagaimana mengolah bahan karbohidrat selain beras ini menjadi berbagai menu makanan yang enak dan bergizi. Bahkan, sebagian mereka sudah memasarkan hasil produksinya sampai ke pasar swalayan,” paparnya.

Selain itu, ada program pemberian makanan tambahan bagi anak sekolah. Siswa diajari makan nasi campur seperti nasi sela. “Kalau di rumah disuruh makan nasi sela tidak mau, tetapi kalau ibu gurunya yang menganjurkan mereka mau,” ujarnya. Kegiatan ini, kata Suryawan, sekarang sudah diambil alih Badan Pemberdayaan Masyarakat Perdesaan (BPMD).
Peningkatan optimalisasi lahan kering juga terus digencarkan. Pengembangan ubi kayu jenis song landak dilakukan di Bangli, Nusa Penida, Klungkung dan Karangasem. Pengembangan jagung hibrida di lahan sawah di Tabanan, Gianyar dan Klungkung. Pengembangan sukun 2000 pohon tahun 2010 di Buleleng Barat dan Timur. Kabid Pascapanen dan Pemasaran Hasil Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali Lihadnyana menambahkan, pelatihan pengolahan pangan lokal dilakukan dengan harapan, konsumsi beras dapat berkurang. “Sumber karbohidrat tidak hanya beras. Kendalanya, masih berkembang persepsi masyarakat jika belum makan nasi belum makan. Dengan penumbuhan UP3HP di semua kabupaten Bali dan dibantu fasilitas alat pembuatan tepung, harapan diversifikasi menu mulai diminati masyarakat,” ujarnya. Ia berharap, konsumsi beras di Bali makin lama makin berkurang dengan diversifikasi pangan lokal. Seperti di Yogyakarta, yang konsumsi berasnya paling rendah di Indonesia. –ast

Koran Tokoh, Edisi 28 s.d. 5 Desember 2010

Tidak ada komentar: