Sabtu, 23 Februari 2008

Doktor Perempuan Pertama di Unhi

MENGAJAR adalah sebuah seni. Bagi Dr. Ida Ayu Gde Yadnyawati, M.Pd., guru dituntut menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan mampu memotivasi siswa. Guru hendaknya lebih banyak memberi ruang pada siswa untuk aktif dan kreatif. Hal ini ia bahas dalam disertasi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan Program Doktor di Universitas Negeri Jakarta.
Dalam ujian sidang terbuka 13 Februari 2008 lalu, Yadnyawati cukup berbangga mengantongi nilai 3,8. Apa sebenarnya cita-cita Doktor perempuan pertama di Universitas Hindu Denpasar ini semasa remaja?

Terlahir sebagai anak kedua dari lima bersaudara, sejak kecil Yadnyawati sudah diarahkan kedua orangtuanya menjadi guru. Namun, ia mengaku lebih tertarik menjadi apoteker. ”Dalam pikiran saya, lebih mengasyikkan menjadi apoteker. Apalagi saya menyukai IPA,” tutur perempuan kelahiran Badung, 11 Februari 1960 ini.

Rasa sungkan dan segan pada orangtuanya membuat ia harus mematuhi saran orangtuanya itu. Setelah tamat SMP, dengan perasaan berat hati ia mendaftar di SPG (Sekolah Pendidikan Guru). ”Itu saya lakukan karena tidak ingin mengecewakan kedua orangtua saya,” kata putri pasangan Ida Bagus Ardana dengan Ida Ayu Gde Asmani ini.

Semester pertama, ia lewati dengan nilai pas-pasan. Namun, ia bersyukur kakaknya Ida Bagus Gde Yudana, selalu memberinya motivasi untuk maju.
Tamat SPG, ia diminta ayahnya ikut mendaftar pengangkatan guru SD.
Lagi-lagi, Yadnyawati berulah. Ia tidak mau ikut, malah ngotot mau kuliah lagi. Ayah Yadnyawati kecewa. Berbagai usaha dilakukan membujuk putrinya itu agar mau bekerja sebagai guru.

Menurut ayahnya, saat itu tamatan SPG diprioritaskan menjadi PNS. Namun, Yadnyawati malah pergi menyusul kakak sulungnya yang sedang kuliah di Yogyakarta.
Atas saran Bagus Yudana juga, orangtua Yadnyawati melunak. Ia diizinkan meneruskan kuliahnya di FKIP Unud Singaraja. Lagi-lagi ia diharapkan menjadi guru. ”Bagi saya yang penting bisa kuliah,” tuturnya sembari tertawa.

Semakin lama menekuni ilmu pendidikan, ia mengaku semakin menikmatinya. ”Ternyata dunia pendidikan sangatlah menarik untuk dipelajari,” katanya. Yadnyawati termasuk mahasiswi yang menonjol di kampus. Nilainya pun terbilang bagus. Tahun 1984 ia menamatkan studinya
dengan baik.
Setelah tamat kuliah, Yadnyawati malah mendapatkan jodoh, dokter Ida Bagus Putra Paramartha yang kini telah memberinya tiga anak.

Setelah menikah, nasehat orangtuanya untuk menjadi guru tetap tergiang di kepalaYadnyawati.
Tahun 1985, ia mencoba ikut tes pengangkatan Dosen Kopertis Wilayah VIII. Ia lulus dan ditempatkan di IHD (Unhi) Denpasar.
Kariernya berawal sebagai staf dosen di Fakultas Ilmu Pendidikan dan Agama IHD Denpasar. Ia semakin mantap menjadi tenaga pengajar. ”Ternyata setelah dilakoni, saya merasa menikmati sebagai dosen. Toh, dosen sama saja dengan guru,” ujarnya.

Keinginannya untuk terus belajar, memacu semangatnya untuk kuliah lagi. Namun niatnya itu diurungkan, lantaran ia harus mendahulukan profesi utamanya sebagai ibu dan istri.
Ia mengaku kehidupan rumahtangganya, di mulai dari bawah. Mengikuti suami yang bertugas sebagai dokter Puskesmas di desa, banyak membawa kenangan baginya. ”Saat itu belum ada listrik masih pakai lampu strong king. Suasana di desa masih sepi, jalan setapak dan masih hutan,” katanya mengenang awal pernikahannya.

Namun, ia mengaku semua itu membuatnya belajar arti kesabaran dan kerja keras. Dalam hati, ia berjanji setelah anak-anaknya besar nanti, ia ingin kembali belajar. Apalagi sebagai seorang dosen, ia dituntut terus mengembangkan wawasannya.
Setelah anak sulungnya duduk di bangku SMA, ia melanjutkan studi program Pasca Sarjana di IKIP Singaraja.
Kembali kesabarannya diuji. Perkuliahan yang padat tiap hari mengharuskannya bertempat tinggal di Singaraja.

Ia pun harus menerima risiko berpisah dengan keluarganya. Hari Sabtu ia manfaatkan untuk pulang dan berkumpul bersama keluarga. Kadang, Yadnyawati merasa jenuh dan putus asa di tengah jalan.
Terbersit keinginan untuk berhenti. Saat ia harus kembali ke Singaraja, anak bungsunya sering menangis. ”Hati saya sedih, namun saya harus sadar semua pengorbanan akan sia-sia jika saya mundur,” tuturnya. Selain motivasi suami, ia mengaku kakak sulungnya sangat memegang peranan dalam kesuksesannya. ”Tiada henti, kakak memberikan saya nasehat dan saran, sehingga saya merasa kuat dan tabah,” tuturnya dengan mata berkaca-kaca.

Tahun 2003, ia berhasil tamat dan meraih gelar Magister Pendidikan. Yadnyawati tidak mau menyia-nyiakan waktu yang tersisa. Setahun kemudian ia melanjutkan studi doktornya di Universitas Negeri Jakarta. Penelitian pendidikan ia lakukan pada beberapa SMPN diDenpasar.
Menurutnya kualitas belajar anak sangat ditentukan pola asuh orangtuanya, karena keluarga adalah pendidikan yang pertama dan utama.
”Orangtua dan anak harus terjalin komunikasi yang baik dan harmonis.
Jika ada masalah atau kesulitan di sekolah, anak dengan mudah mengungkapkan pada orangtuanya. Begitu juga sebaliknya orangtua rajin memantau perkembangan hasil belajar anak,” ujar Ibu Ida Bagus Gde Suwibawa Putra, Ida Ayu Gde Suwiprabayanti Putra, dan Ida Bagus Gde Suwitrisna Putra ini.

Ia menilai guru harus mampu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan bagi siswa, sehingga siswa termotivasi untuk belajar. Siswa diberikan banyak kesempatan menyampaikan pendapatnya. Hal ini kata dia, melatih siswa untuk berani dan kritis. ”Jangan pernah memberi label pada siswa, seperti kamu penakut, atau kamu bodoh. Label ini malah mengakibatkan siswa minder dan motivasi belajarnya menurun,” sarannya.
13 Februari 2008, hari yang paling membahagiakan dirinya. Ia lulus dalam disertasinya dan meraih gelar doktor, dengan nilai sangat memuaskan 3,8. Keberhasilannya itu ia anggap kado ulangtahunnya yang ke 48. –ast

Dimuat di Koran Tokoh, Edisi 477, 24 – 1 Maret 2008

1 komentar:

obat kuat mengatakan...

obat kuat paling berkhasiat , dapat mengatasi impotensi dan meningkatkan gairah, multi orgasme