GAGASAN membuat lokalisasi di Bali menimbulkan pro kontra masyarakat.
Gagasan ini terlontar karena meningkatnya penderita HIV/AIDS di Bali yang ditenggarai paling banyak melalui hubungan seks.
Sementara banyak pihak menolak lokalisasi karena dikhwatirkan mencemari kesucian Pulau Bali.
Menurut Dekan Fakultas Brahma Widya IHDN Denpasar Prof. Dr. Made Titib, Ph.D fakta di luar Bali menunjukkan lokalisasi tidak mencegah berkembangnya PSK malah dikhawatirkan menjadi ajang bisnis yang memanfaatkan lokalisasi untuk mencari keuntungan berlipat dan kemungkinan membuka hal sama di tempat lain.
“Alasannya sederhana bila disini boleh, kenapa disana tidak boleh,” katanya retorik.
Ia mengatakan Listiyono Santoso pengajar Ilmu filsafat di Universitas Airlangga Surabaya pernah melakukan penelitian pada daerah lokalisasi di Jakarta dan Surabaya.
Ternyata lokalisasi tidak berhasil menghentikan praktik prostitusi, malah semakin merebak dan menjamur.
Melihat fakta tersebut, gagasan lokalisasi di Bali kata Prof. Titib, diyakini tidak akan berhasil menyelesaikan masalah penyakit masyarakat tersebut.
Menurutnya lokalisasi malah akan memunculkan citra negatif tentang Bali.
“Bila penyakit masyarakat ini dibiarkan merembak ditinjau dari aspek moralitas akan mengalami banalisasi.
Artinya terjadi pergeseran pandangan dan menganggap hal biasa praktik prostitusi dan tidak berbahaya.
Contoh beberapa oknum atau aparat desa membiarkan pelacuran merebak di desanya, demikian pula ketika terjadi razia cewek kafe, para pemuda setempat menentang razia tersebut.
Hal ini menunjukkan adanya gejala banalisasi di bidang prostitusi,” ujar Prof. Titib.
Ajaran agama melarang berbagai tindakan yang bertentangan dengan Rta dan Dharma, jawabannya sederhana kata Prof. Titib, karena merusak tatanan mikro dan makro yang mengakibatkan jatuhnya moralitas.
Sesuai ajaran Weda dan Dharmasastra manusia yang ideal adalah yang berpegang pada kebajikan berupa kebenaran (satya), pemberian (dana), tugas dan kewajiban (dharma) serta meninggalkan keterikatan terhadap hal-hal yang bersifat keduniawian.
Ia menawarkan sejumlah solusi dengan merebaknya penyakit masyarakat ini bukan dengan lokalisasi tapi mengadakan kerjasama dengan banjar dan Desa Pakraman melalui pencerahan atau penyadaran ajaran agama di kalangan umat Hindu di Bali, terutama Desa Pakraman yang berpotensi sebagai tempat merebaknya penyakit masyarakat tersebut.
Mengadakan musyawarah mufakat pada masIng-masIng banjar dan Desa Pakraman untuk mencegah praktik prostitusi masuk ke wilayahnya.
Salah satu contoh Desa Pakraman yang berhasil mencegah penyakit masyarakat tersebut adalah Desa Pakraman Timbrah Karangasem.
“Pararem” diyakini sangat ampuh untuk mencegah penyakit masyarakat merajalela.
“Masukan dalam awig-awig Banjar dan Desa Pakraman mencegah adanya praktik prostitusi atau larangan bagi warga masuk ke lokalisasi bahkan bila perlu kenakan sanksi,” ujarnya sembari menambahkan saat lomba desa termasuk lomba sekeha taruna dikutsertakan syarat boleh mengikuti lomba desa asal desa tersebut bebas penyakit masyarakat. –ast
Sudah dimuat di Koran Tokoh Edisi 467, 16-22 Desember 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar